spacer

A Game of Thrones: The Board Game

by Petra on Feb.07, 2012, under Diary, Games, Thoughts

spacer

A Game of Thrones: The Board Game

Dua bulan lalu saya membeli sebuah board game yakni A Game of Thrones. Para pecinta buku fiksi pasti tahu kalau judul ini tidak lain merupakan judul dari buku pertama seri A Song of Ice and Fire. Buku ini pun telah diangkat menjadi sebuah serial televisi dengan judul yang sama.

Saya sendiri cukup senang bermain board game, meski mungkin belum bisa dibilang penggemar berat board game. Beberapa board game yang pernah saya mainkan antara lain Citadels dan The Settlers of Catan. Cerita bagaimana saya membeli board game A Game of Thrones ini bermula dari permainan Citadels dengan teman-teman FOWAB. Jadi, hampir semua board game itu pasti ada semacam booklet yang berisi kumpulan board game. Ketika kami bermain Citadels, saya iseng-iseng membaca-baca booklet tersebut. Di situ saya menemukan ada board game A Game of Thrones. Karena saya sangat suka dengan buku seri A Song of Ice and Fire dan juga serial TV A Game Of Thrones, saya jadi penasaran dengan board game tersebut.

Setelah cari-cari sana sini, saya lihat kalau ada yang jual board game ini di Kaskus seharga sekitar 700 ribu rupiah. Tapi untungnya ada yang jual di Singapore yakni di toko board game bernama BOGAS dengan harga 78 SGD (atau sekitar 500 ribu rupiah). Dan saya pun bisa menitip ke rekan yang saat itu sedang pulang ke Indonesia.

spacer

Ini buku peraturan atau majalah?

Kesan pertama setelah membuka bungkus board game ini adalah: SUPER EPIC! Ini board game punya banyak sekali ornamen-ornamen, mulai dari token-token kecil dari karton, pion-pion, kartu, dan papan yang ukurannya benar-benar besar.  Belum lagi ditambah buku peraturan yang setebal majalah. Kalau dilihat dari awal, memang sudah sangat ketahuan kalau board game ini cara mainnya benar-benar kompleks.

 

spacer

Aksesori Permainan

Board game ini dapat dimainkan oleh tiga hingga enam pemain, tetapi sangat disarankan enam orang agar permainan semakin seru. Setiap pemain memegang sebuah House yakni antara lain Stark, Lannister, Baratheon, Greyjoy, Tyrell, dan Martell. A Game of Thrones: The Board Game ini mengambil cerita tepat setelah Robert Baratheon meninggal (meski tokohnya masih dapat dimainkan) dan di bagian awal The Wars of Five Kings, meski dalam board game ini Stannis Baratheon dan Renly Baratheon masih dianggap dalam satu pihak.

Tujuan utama dari permainan ini adalah untuk merebut sebanyak-banyaknya kastil yang ada di papan permainan. Pemenang permainan adalah pemain yang pertama kali meraih tujuh buah kastil atau memiliki kastil paling banyak pada akhir ronde 10. Papan permainan menggambarkan peta dari Westeros beserta daerah-daerah kekuasaannya mulai dari Winterfell, Pyke, Dragonstone, Lannisport (Casterly Rock disatukan dengan Lannisport di board game ini), Highgarden, hingga Sunspear.

spacer

Peta Permainan Yang Benar-Benar Luas

Dalam usahanya merebut wilayah-wilayah yang ada di Westeros, setiap House memiliki unit-unit perang mulai dari footman, knight, ship, dan siege. Jika ada dua House yang saling bertemu dalam sebuah wilayah, kedua House ini akan bertempur memperebutkan wilayah tersebut. Untuk memenangkan pertempuran ini, House dapat memanggil para tokoh dari House tersebut. Misalnya di House of Lannister, tokoh-tokoh yang dapat dipanggil antara lain Ser Jaime Lannister, Tyrion Lannister, Ser Gregor Clegane, dll. Di House Stark juga misalnya, tokoh-tokoh yang dapat dipanggil antara lain Eddard Stark, Robb Stark, dll. Setiap tokoh ini memiliki kemampuan yang dapat digunakan untuk menambah kekuatan pasukan ataupun kemampuan khusus untuk memberi keuntungan kepada pemain setelah pertempuran.

spacer

The Iron Throne

Para penggemar A Song of Ice and Fire pasti tahu kalau di seri ini hal yang sangat menonjol bukanlah peperangannya, tetapi segi politiknya. Begitupula dalam board game ini. Kekuatan pasukan bukanlah segalanya. Di dalam A Game of Thrones: The Board Game ini, politik lah yang memberikan arti kata “seru” dalam permainan. Setiap pemain dapat berkoalisi dengan pemain-pemain lain untuk melawan pemain (atau pemain-pemain) lain. Koalisi ini dapat berupa penyusunan strategi, bahkan permintaan bantuan pasukan dari House koalisi saat melakukan pertempuran melawan House musuh (dan koalisinya tentunya). Selain untuk pertempuran, strategi ini sangat penting karena setiap House memiliki keuntungan-keuntungan masing-masing dalam permainan. Misalnya, di awal permainan House Baratheon memegang keuntungan dalam bentuk posisi Iron Throne yakni keuntungan dalam inisiatif permainan, House Greyjoy memegang Fiefdom yakni keuntungan dalam kekuatan pasukan, dan House Lannister memegang King’s Court yakni keuntungan dalam bentuk mata-mata.

Ada kalanya di mana semua House harus menghentikan perseteruan dan bersatu untuk mengalahkan musuh bersama: The Wildlings. Di saat-saat seperti ini, semua House harus bekerja sama membantu The Night’s Watch untuk mencegah invasi dari para musuh yang berasal dari belakang The Wall. Memang mungkin ada beberapa House yang sangat egois dengan tidak mempedulikan ancaman Wildlings. Akan tetapi, selalu ada keuntungan bagi House yang memperhatikan keamanan Westeros dari Wildlings ini.

Sejak membeli Board Game ini, saya sudah bermain sebanyak 5 kali dengan teman-teman, terutama teman-teman di Hackerspace Bandung. Setiap permainan yang saya lakukan berlangsung sangat lama, terutama karena harus menjelaskan permainan kepada teman-teman yang lain. Biasanya permainan berlangsung sekitar 2 atau 3 jam. Benar-benar panjang dan cukup melelahkan. Tapi menurut saya permainan ini sangat seru, terutama karena ada faktor politiknya. Bagi rekan-rekan yang lebih suka board game yang sifatnya casual, board game ini tidak terlalu disarankan karena memiliki peraturan permainan yang sangat kompleks. Permainan ini benar-benar cocok untuk rekan-rekan yang menyukai strategi, intrik, serta politik di antara pemain.

When you play the game of thrones, you win or you die. There is no middle ground.” ~ Cersei Lannister.

(Beberapa foto adalah milik hapenya Dian Ara)

spacer
spacer
Leave a Comment more...

From A Distance

by Petra on Jan.30, 2012, under Intermezzo

From a distance
The world looks blue and green
And the snow capped mountains white
From a distance
The ocean meets the stream
And the eagle takes to flight

From a distance
There is harmony
And it echoes through the land
Its the voice of hope
Its the voice of peace
Its the voice of every man

From a distance
We all have enough
And no one is in need
And there are no guns, no bombs and no disease
No hungry mouths to feed
From a Distance
We are instruments
Marching in a common band
Playing songs of hope
Playing songs of peace
They are the songs of every man

God is watching us
God is watching us
God is watching us
From a distance

From a distance
You look like my friend
Even though we are at war
From a distance
I just cannot comprehend
What all this fightings for
From a distance
There is harmony
And it echoes through the land
And its the hope of hopes
Its the love of loves
Its the heart of every man

God is watching us
God is watching us
God is watching us
From a distance

God is watching us
God is watching us
God is watching us
From a distance

spacer
spacer
Leave a Comment more...

A Complaint Letter To AirAsia Indonesia

by Petra on Dec.14, 2011, under Diary, Intermezzo

Dear AirAsia Indonesia,

My name is Petra and I work as a software engineer. Also, since I have been using AirAsia for my personal flights for the past few years, I think I have the right to call myself as a loyal customer of AirAsia. I started using AirAsia because I admired -from my point of view as a software engineer- the fact that AirAsia has been delivering its great service in a very efficient way by leveraging the power of information technology hence producing an excellent yet affordable satisfaction.

But a good technology always has its flaws. It is another fact that I learned from my occupation. And unfortunately, this happened to me a few days ago. Hereby I want to address a few complaints about those problems I had so that AirAsia can improve its service to a better quality.

Few days ago, I was visiting Singapore for Girls’ Generation concert. I booked both departing and returning flights few days before my visit. My departing flight number was QZ7971 from Bandung. I didn’t have any difficulties doing the mobile check-in system by using the BlackBerry application that I installed after I booked the flight. But the thing is that I had a problem when I tried AirAsia app to do the mobile check-in a night before my returning flight.

That night, after I went back from the concert feeling so tired (yet so happy) I tried the app. Then after I submit all the data required (the passport, name, etc), the app returned an error message. I retried the check-in process several times, but the app kept saying that I had checked in. I kept checking my email, waiting for the check-in confirmation until the middle of the night. I was so worried because there was no email from AirAsia, but then I assured myself that there was no problem and then I went to sleep so late at that night.

In the morning, there was still no email and I remembered that I need the QR Code to get the boarding pass or I would be charged extra for the conventional check-in. I started retrying the check-in using both mobile web and the desktop web. Both sites also kept saying that I had already checked-in. And little did I realize that at that time I had spent almost an hour retrying the check-in.

Realizing I was going to be late, I took a taxi to the Airport. Taxi in Singapore was so expensive and the airport was even further than I had imagined. I arrived in the airport and I thought that I was on-time. But that was not helping. I went to the conventional check-in booth only to find that there was a very long queue of people. And when I finally reached the end of the queue, the staff told me that they already closed the check-in for my flight QZ7789. I was 10 minutes too late. I got so panic because that was the first time in my life I was late for a flight. And in panic, I asked the staff, “So I should book another flight?”, he nodded and I went to the Sales Office.

The next flight to Bandung was about 400s SGD and the next flight to Jakarta was 314 SGD. Those were so expensive, and until now I never know what made me booked the flight to Jakarta when -I believe- there were so many cheaper flights that day. Is it because I really liked AirAsia? Or is it because I was so happy from watching Girls’ Generation that I couldn’t think rationally? I never know.

Anyway, the next problem has been bugging me since a long time ago. I feel so curious on why customers can not choose their seats when they book a flight from the Sales Office. When I bought that flight to Jakarta from the Sales Office in Changi, I tried to ask for another seat. For a very personal reason, I like the seat in the wing area so much. The sales staff said that I could only do that when I do the check-in. This has happened before. It just doesn’t make any sense. If I can choose the seat from the web booking system, why can’t I choose the seat if I order the flight at the Sales Office?

The third problem is about the security in the web check-in. As the staff told me, I tried the web check-in to change the seat. There was extra charge for the seat in the wing area (my favorite seat). And when I want to input my Visa debit card, I realized that the card input page use regular HTTP instead of HTTP secure. It is one of essential security measures to use a HTTPS when you want to make a transaction using internet connection in a public area – airport, in this case. When I tried changing the HTTP to the HTTPS in that page URL, the web kept giving me error message. Then I retried the check-in process by using the HTTPS from the beginning. The web check-in always came back using the HTTP.

Fortunately, the “Add Card” feature in the account management page can use the HTTPS. And this brought me the next problem. After I added my Visa debit card, I tried the check-in again. That time from the mobile web. After I submitted the ‘change seat’ form, the page said that the payment from my card was confirmned. But then after I went the the check-in menu the page still show my original seat instead of the one I ordered. And then I tried changing the seat again. There was no difference only that the seat I ordered was displayed as unavailable.

I gave up on the seat. I proceeded to the next step of the mobile web check-in. And I came back again to the first problem. Same as the AirAsia BlackBerry App, the mobile web displayed an error message. And then when I tried the check-in again, it displayed that I had already checked-in. That time, the error message displayed something about API error. Well, that was an interesting thing to know that both the mobile web and the BlackBerry App were most likely using the same API. Call it an occupational hazard but right now I feel curious whether the web page using the same API layer.

And finally, I did something that I should have done before: went to the Customer Service. I showed the error in the web check-in to the Customer Service Staff using my tablet PC. The staff was very nice. She did my check-in stuffs and also my seat changing. And then she made sure that there was no extra charge about the seat changing problem I experienced. But, there was a funny thing about that seat changing problem. That seat I ordered was empty since the flight departed from Singapore, and then arrived at Jakarta. Was it already ordered by someone else but he/she didn’t make it to the flight, or was it because some glitches in the ordering system.

Although the root problem was the application error in AirAsia Blackberry Application, I realized that it was also partially my mistake. From a lesson worths 314 SGD flight to Jakarta plus 30s SGD taxi fare, I learned that as a customer I should not have been panic and should have gone to Customer Service when experiencing problem, and I should have arrived so early that time. And to show my good will, I wrote this letter to AirAsia so that AirAsia could improve its already-great service and no one will experience the problem.

Regards,

Petra Novandi Barus

PS #1: I also posted this letter in my blog to help my friends avoid the same problem I had.

PS #2: To be honest, I’m kind of hoping that there could be some compensation for the trouble I had.

spacer
spacer
5 Comments more...

Kindle Fire

by Petra on Nov.30, 2011, under Books, Diary, General, Intermezzo, My PC, Technology

Tulisan ini untuk memenuhi janji kepada teman-teman saya yang penasaran seperti apa sih itu Kindle Fire.

Jadi ceritanya minggu lalu saya menitip Kindle Fire ke salah satu rekan kerja yang sedang pulang dari Amerika Serikat. Awalnya saya ingin membeli Kindle Touch, karena tertarik dengan Kindle Touchnya punya Andra. Tapi begitu melihat situsnya Amazon, saya langsung tertarik dengan Kindle Fire yang saat itu masih pre-order. Kenapa? Alasan pertama adalah karena sudah berwarna dan juga dengan sistem operasi Android. Alasan kedua karena harganya hanya berbeda $100 daripada Kindle Touch yakni seharga $199.

spacer

Pesanan Kindle Fire

Seperti apa sih Kindle Fire itu?

Dari segi ukuran, Kindle Fire tidak terlalu berbeda dengan tablet-tablet berukuran 7 inchi lainnya. Tapi yang jelas jika saya bandingkan saat saya memegang tablet milik rekan saya, misalnya Galaxy Tab, beratnya juga tidak terlalu jauh berbeda. Hanya sedikit lebih ringan, tapi tidak terlalu kentara. Dan karena ukuran serta tebalnya yang sama, Kindle Fire ini dapat menggunakan case yang diperuntukkan bagi Galaxy Tab. Karena pada saat saya membelinya, Kindle Fire ini belum ada seminggu dirilis, maka saya terpaksa membeli case untuk Galaxy Tab.

Lalu kalau dilihat dari tampilan desktop, Kindle Fire ini cukup unik dibanding tablet-tablet Android. Beberapa tablet Android lainnya memiliki tampilan awal berupa Google search bar dan ikon-ikon aplikasi. Tapi tampilan desktop Android dari Kindle Fire ini dikustomisasi sehingga menyerupai rak buku. Rak pertama berisi aplikasi-aplikasi (terutama judul-judul buku, karena natur dari Kindle Fire ini yang fungsi utamanya sebagai e-book reader ketimbang multipurpose tablet PC) yang terakhir dibuka, dan rak-rak selanjutnya berisi aplikasi-aplikasi favorit. Menariknya, untuk shortcut dari e-book, ada semacam penanda seberapa jauh progres kita selama membaca buku tersebut.

spacer

Tampilan desktop di Kindle Fire. Di bagian kanan atas buku Heat Wave ada penanda "1%" yakni seberapa jauh saya sudah membaca buku tersebut.

Format buku-buku yang didukung oleh device ini dan yang sudah saya coba antara lain AZW (tentu saja, karena ini adalah format e-book Amazon) dan MOBI (Mobipocket). Selain itu Kindle Fire ini juga mendukung format dokumen seperti PDF, DOCX, dan lain-lain. Untuk bisa menggunakan format dokumen terakhir, kita dapat dengan mudah menyambungkan Kindle Fire ini ke komputer mentransfer berkas-berkas tersebut ke device layaknya flashdrive. Nantinya Kindle Fire akan otomatis mendeteksi berkas-berkas baru dan menaruhnya ke dalam kategori Book atau Docs. Selain itu juga Kindle Fire ini mendukung berkas multimedia seperti video dan musik.

Konten-konten seperti buku dan multimedia ini selain dapat ditransfer ke dalam device juga dapat diperoleh dengan membelinya di Amazon Store. Salah satu fitur yang menarik di sini adalah adanya integrasi dengan Amazon Cloud Drive. Konten-konten yang kita beli dari Amazon langsung disimpan di Amazon Cloud Drive lalu dapat kita unduh di Kindle Fire. Konten-konten ini akan terus disimpan di cloud sehingga kalau Kindle kita hilang, kita dapat tinggal membeli yang baru dan dapat kembali mengunduh konten-konten tersebut.

spacer

Tampilan e-book Kindle Fire

Membaca buku di Kindle Fire ini menurut saya cukup nyaman. Hanya saja kekurangan di Kindle Fire ini adalah layarnya masih memiliki pantulan cahaya, berbeda dengan di Kindle lain yang dilengkapi teknologi e-Ink sehingga tidak memiliki glare. Awalnya mungkin agak tidak terbiasa, tapi lama-kelamaan jadi terbiasa dan nyaman selama kita dapat memilih tempat dengan pencahayaan yang cukup nyaman untuk membaca. Dan enaknya e-book readernya bisa kita konfigurasi untuk meningkatkan kenyamanan dalam membaca, seperti pengaturan ukuran tulisan, spasi antar baris, dan latar belakang. Untuk latar belakang, saya menyarankan memakai latar belakang hitam dengan warna tulisan putih yang menurut saya sangat nyaman untuk dibaca. Selain itu juga ada fitur bookmarking halaman serta notes jika kita ingin menulis catatan atau keterangan tentang bagian tertentu di buku.

spacer

Pencarian Kamus

Hal lain yang saya suka dari e-book readernya adalah adanya pencarian kamus yang terintegrasi. Saya suka membaca buku-buku fantasi dalam bahasa Inggris, tetapi karena penguasaan kosa-kata saya sangat buruk, saya seringkali harus bolak-balik antara buku dengan kamus bahasa Inggris yang dua-duanya sangat tebal. Tetapi dengan Kindle Fire ini, saya cukup memencet kata yang tidak saya mengerti, kemudian muncul kotak dialog yang berisi entri kamus dari kata tersebut yang berasal dari New Oxford American Dictionary. Selain lewat fitur tadi, kita juga dapat membuka kamus ini seperti layaknya buku lain.

Dibandingkan dengan tablet-tablet yang lain, Kindle Fire ini memang sangat minim fitur seperti tidak adanya kamera dan tidak bisa tersambung dengan jaringan 3G. Tapi paling tidak ada fitur-fitur WiFi dan headphone jack yang menurut saya sudah cukup. Sejujurnya adanya WiFi pun, menurut saya, agak mengganggu konsentrasi membaca karena setiap kali ada WiFi, saya selalu tergoda untuk membuka Facebook, Twitter, dan Plurk ketimbang membaca. Hehe. Yang jelas Kindle Fire ini buat saya yang senang membaca, benar-benar recommended banget lah karena fiturnya lumayan banyak dan juga harganya sangat terjangkau ketimbang tablet yang lain. spacer

spacer
spacer
13 Comments :Amazon, Kindle, Kindle Fire, Review more...

Cerita dari Supir Taksi

by Petra on Nov.06, 2011, under Intermezzo, Story

Beberapa jam lalu saya pulang dari mall Cihampelas Walk setelah nonton film dan belanja. Gw berdiri di tepi jalan Cihampelas sambil bawa plastik besar berisi belanjaan. Dan beberapa jam lalu itu hujan cukup deras sementara gw menunggu taksi.

Dari Cihampelas Walk ini ke kosan gw di Cisitu Baru memang bisa ditempuh dengan menggunakan satu jalur angkutan saja. Tapi kemarin dan pagi tadi ada beberapa hal yang membuat badan gw serasa mau rontok. Karenanya gw males jalan agak jauh dan di bawah terpaan hujan untuk menaiki angkutan umum.

Sialnya, malam minggu seperti ini taksi kosong sepertinya jarang sekali lewat jalan Cihampelas ini. Atau kalaupun ada yang kosong, itu pun taksi yang kurang gw sukai. Bukannya gw milih-milih taksi tapi ada beberapa kejadian (ini dan ini) yang membuat gw hanya percaya dua merk taksi di Bandung ini: Blue Bird dan Gemah Ripah. Tapi kali ini gw pun dikecewakan oleh merk taksi yang kedua.

Jadi, setelah menunggu beberapa lama di bawah hujan (yang mana membuat gw makin menyesal kenapa gak jalan dikit aja buat nyari angkot pulant), gw menemukan taksi kosong. Setelah gw samperin, si supir taksi bertanya.

“Mau ke mana, A’?”
“Mau ke Simpang Dago!”
“Ah, gak mau. Macet!”

Supir taksinya langsung pasang muka cemberut buat mengusir gw keluar dari taksinya. Dan ini kejadiannya gw alami satu kali lagi. Gw merasa cukup maklum sih. Malam ini adalah malam minggu. Jalan-jalan di Bandung ini pasti selalu padat dengan mobil di malam minggu, entah itu mobil dari lokal ataupun mobil dari ibukota. Gw benci banget yang namanya nyetir dalam kemacetan. Oleh karena itu, karena gw enggan ngerepotin supir-supir ini makanya gw juga urung naik ke taksinya.

Sampai akhirnya gw menyerah dan bela-belain jalan ke angkot dengan resiko juga terpaksa nunggu angkotnya lewat ataupun angkotnya ngetem. Saat itu secercah harapan muncul dalam rupa lampu biru menyala terang menampakkan lambang burung angsa berwarna biru juga. Tanpa pikir panjang langsung gw panggil itu taksi dan gw naik ke dalam taksi itu.

Karena hari ini gw ngerasa bener-bener capek, gw mengistirahatkan mata sebentar saja. Setelah membuka mata, ternyata taksi yang gw tumpangi ini sudah berada di depan kebun binatang di pertigaan Taman Sari – Ganesha. Gw langsung mencoba membuat percakapan dengan supir taksi. Supir taksi Blue Bird ini memang terkenal sangat ramah dengan penumpang dan enak kalau diajak ngobrol. Gw bertanya

“Ini gak macet-macet banget khan tadi ya?”
“Iya, gak terlalu macet”
“Saya tadi dua kali mau naik taksi tapi ditolak mulu. Mereka gak mau karena macet.”
“Taksi yang mana?”
“Itu yang di depan”

Gw menunjuk taksi di depan taksi gw itu yang kebetulan taksi dari brand Gemah Ripah. Si supir taksi ini langsung mengiyakan.

Dia langsung bercerita alasan kenapa gw sampai ditolak dua kali. Jadi alasan dibaliknya itu adalah karena jarak antara Cihampelas dengan Cisitu itu terlalu dekat. Jadinya argo yang ditagihkan pastilah jumlahnya kecil. Nah, kata supir ini, supir-supir taksi yang lain itu biasanya merasa rugi kalau harus menagih argo yang nilainya kecil. Dan biasanya kalau tau seperti itu, supir-supir taksi tersebut langsung menawarkan “borongan” biar mereka tidak rugi.

Gw sebenernya gak tau juga sih alesannya kenapa mereka harus ngerasa rugi. Apa mungkin sistem mereka ini pakai persentasi dari tagihan argo? Atau malah mereka diwajibkan bayar setoran. Kalau kasusnya dua itu mungkin mereka ngerasa rugi banget kalau harus menagihkan biaya kecil. Supir taksi gw ini berpendapat, katanya kalau rute yang dituju cukup jauh, misalnya dari Cihampelas ke daerah suci, mungkin supir-supir taksi yang lain bersedia buat nganterin.

Setelah si supir menjelaskan hal-hal itu, taksi gw sudah nyampe ke depan kosan. Pengalaman ini membuat gw menambahkan peraturan setelah “Biaya taksi lebih murah daripada ojek untuk jarak dekat-menengah”, yakni, “Untuk jarak dekat pakailah Blue Bird. Sayang sekali armada Blue Bird ini masih belum terlalu banyak di Bandung (Di Jakarta, armada Blue Bird ini banyak sekali lalu-lalang) . Lain kali, harusnya naik angkot saja deh. spacer

spacer
gipoco.com is neither affiliated with the authors of this page nor responsible for its contents. This is a safe-cache copy of the original web site.