Penjaga Pelabuhan
“bapak, biarkan kami bersaksi
bahwa kau pernah menjadi ombak
di dada kami
kelak, kami kabarkan kepergian kepada burung laut
sebagai isyarat bagi pelabuhanmu
yang mulai tunai mengatakan perjumpaan”
debur ombak
bergemuruh di dada sepasang remaja
selalu ada tanda bagi segala yang akan tiba
lewat bayang karang dan matahari yang bertegur sapa
Tanjungkarang, Februari 2008
Melayat
lima bocah berkabung di rumah duka
yang ditinggal mati anjing tetangga
Mei 2009
Penjahit dan Kainnya
peristiwa yang saya alami ini, tuanku
tak segembira sepasang remaja yang menjalin
benang-benang asmara di dada mereka
tak pula sepasti runcing jarum atau tajam gunting
ketika menusuk dan mengoyak jalinan badan saya
karena sejak terjalin sebagai benang terpintal sebagai kain
terendam di air sabun tergantung di lemari dan jemuran
saya telah tunai meski ada yang terasa belum usai
ketika melekat di tubuh anda menyerap keringat
menjadi nostalgia, kebal pada panas-dingin cuaca
(seperti ada yang tak mampu saya sembunyikan
selain kulit atau penanda usia di tubuh anda)
maka bersama seluruh perasaan anda, tuanku
jahitlah bagian saya yang koyak agar tetap
ada yang berdegub di dalam dada
hingga tak akan ada perasaan bangga atau kecewa
jika tiba-tiba saya, pintalan kain ini, anda sulap
menjadi gaun atau kebaya
Bandar Lampung, Mei 2009
Air dan Tanah yang Dijumpainya
kau selalu memintaku diam
setiap kali kau kujumpai
”menggenanglah, barangkali di tubuhku
kau telah lama ada”
tapi aku ingin mengalir
sambil menafsir liukan luka di tubuhmu
menjadi tamu
meski kita tak kunjung merasa bertemu
mencari alamat
meski tak pernah pasti setiap isyarat
“tanpa kau, aku akan menyerpih
menjadi debu”
tak akan pernah cukup bagiku
bila sekedar lesap ke tubuhmu
”apalah beda sebuah dunia bagimu
bila hulu dan hilir terlahir sebagai dirimu sendiri”
awal dan akhir
bagiku ada pada matahari
(ketika dua matahari
jatuh di batas samudera
ketika ombak membuka diri
memanggil para penunggang pagi)
aku mendengar dzikir musafir
aku melihat daun-daun menguning
“berulangkali kau terlahir
dan kita selalu bertemu”
bukankah aku menumbuhkan
segala yang kau kandung?
Tanjungkarang, Agustus 2009
Kamar yang Terbuka
bayang menunggangi malam
keduanya lalu terbang
hilang …
kelelawar pun terbang
kelelawar tetap terbang
engkau pula yang bertanya :
“berapa dalam kematian?”
ini kamar terbuka, cintaku
dalam pasukan pasir waktu
tak lengkap juga jawab yang diucapkan
tak lengkap juga Tuhan yang dibayangkan.
03-04/2009
Haiku Lama
Kakek Terbatuk
Dinding Fantasi Biru
Digelas Batu
Puisi-Puisi Yosi M Giri
Kabut Yang Memataiku
demi dingin yang menyertaiku pulang kampung,
aku memoles malam dengan gemetaran
hidup yang ditiupkan setiap jemari kuharap
tak berhenti hanya karena jalanan ini sepi dan pengap
tapi kerling itu, tak cukup menggangguku
tidak juga kabut itu, aku hanya perlu menciumnya
dan selebihnya kuhancurkan kugempur
dan kau pun tahu, diam-diam mereka menyertaiku
dan memataiku
Bunga Pustaka, Maret 2009
—
Pada Sebuah Kata
Di lorong-lorong hening
Tiap pasang mata menjelma matahari
Sinaran leluasa yang dikelabui kabut
Jangan berharap kau dapat dekat mendekapnya erat
Jika reruntuhan sesunyi itu telah meninggalkan riwayat
Bakal api kembali debu
Dan sesekali berteduh di rumah-rumah lebah
Akankah kau percaya pada dinding
Tempat dingin membentuk wajahmu
Bersama surat-surat yang tak satu pun terbalas
Walau hanya sebatas senyum dan angan
Akhirnya, kata-kata menyembunyikan mereka
Seperti pori-pori kulit dari kejauhan kau memandang
Pendhapa Bunga Pustaka, 2009
—
Tuhan dan Semut Nakal
Tuhan,
Semut itu mulai nakal,
Menggerogoti daging-dagingku yang lapar
Tak ada pembagian bagi mereka
Tak ada yang bisa kubanggakan dari mereka
Semut-semut itu makin liar
Makin lapar melebihi laparku
Tuhan,
Mengapa aku begitu ketakutan hanya
Karena sepotong roti itu mereka keroyok
Mereka pikir mereka bisa menghabiskannya?
Tidak, aku entah kenapa tak akan membiarkan mereka
Kenyang,
Mungkin karena mereka hanya semut
Semut yang bisa kulibas kapan saja
Semut yang bisa kulindas semauku
Semut yang…
Tapi, kenapa aku merasa begini
Bukankah itu hanya sepotong roti sisaku semalam?
Bukankah mereka juga punya perut yang lapar?!
Tuhan,
Ternyata aku yang nakal.
Bunga Pustaka, 2009
—
Aku Malu
Aku malu pada wajahku,
Sejak kutemukan diriku bukan lagi cokelat, sawo matang, rambut hitam.
Aku malu pada bukit buku-buku dan tropi di mejaku
Sejak kujumpai bocah kumal kepanasan di tepi-tepi jalan.
Sekitarku: doa menjadi harapan yang ditulis rapi
Dan dalam saku celanaku, janji dan bualan sekedar pemanis hidup
Sembari mengulang-ulang kemesraan di sudut kamar
Aku makin malu pada mereka,
Yang masih sempat tersenyum
Meski jiwa dan lolongan mereka melebihi derik jangkrik di kampungku
Meski tangisan mereka tak semerdu nyanyian burung pipit,
Barangkali sayap-sayap mereka yang rontok tak lebih berarti
Daripada perut yang menggelinjang kesakitan
Karena selama 24 jam, hanya sekali makan, itupun sisa jilatan anjing dan tikus-tikus got
Aku malu pada wajah negeriku,
Yang berabad-abad dijajah tapi berani berlapang dada
Begitulah, kiranya negeriku yang lapang kian jadi ladang bangga
Bunga Pustaka, 2009
—
Cahaya Membayang
bayang-bayang tubuhmu memancar
membiarkanku gemetaran dalam rindu-rindu api
aku tak bisa sembunyi lagi dari riuh kedalaman merahmu
aku menggambar hati di langit
di pintu hujan membawa kenangan
dan debu-debu meluncur dari ketinggian
menuju gelombang yang tak pernah kudengar gemuruhnya
semenjak itu, aku mencintai celah dari rangkaian rayumu
yang dingin dan melulu salju
sembari menimbang bagian dari tubuhmu
yang akan kukendurkan bersama bunga-bunga hujan
Pendhapa Bupus, 2009
—
Hujan Panah
Xerzes,
mungkin dewa yang darahnya terlalu dingin
butuh tanah dan air yang tak kan pernah diberikan Leonidas
padanya, hanya ujung tombak sekedar melewati bibir setebal gurun pasir
namun, hujan panah yang menutupi matahari
barangkali hanya sedikit dari celetuk Raja diraja,
sekedar ungkapan tirani yang mungil bagi pasukan budak seperti orang-orang Sparta
kau tahu,
tubuh yang melayang di atas altar-altar kesunyian dan melagukan pelangi
pun turut meniduri para bidadari,
ia tak lagi menatapmu seperti pahlawan di kelas-kelas yang penuh sarang laba-laba
menitahkan sedikit ucapan bangga bagi ribuan pulau
dan kau akan menemuiku dengan tubuh merunduk
menyalamiku dengan segenap rambu-rambu
tahukah kau arti rinduku pada rindumu
Bunga Pustaka, 2009
—
Sejumput Akal
Padaku,
Rumput-rumput itu tak sengaja menyapa
Dalam bahasanya yang paling absurd
Aku kira kau tahu cuaca tak lagi bisa ditebak
Bakal meleleh atau sebeku salju
Padaku,
Rumput-rumput itu tak sengaja bicara
Dalam subuh yang memberikan jeda bagi
Setiap mimpi dan doa yang sengaja kudenguskan
Dalam tiarap rinduku yang kepayang
Bunga Pustaka, Maret 2009
—
Yosi M Giri, bernama lengkap Yosi Muhaemin Giri ini lahir di Pemalang 4 Desember 1986. Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Komunitas Sastra Bunga Pustaka. Juara II Lomba Tulis Puisi Valentine 2007 versi Majalah GAUL, Juara I Lomba Cipta Puisi Se-Jawa Tengah tahun 2008 versi Komunitas Sastra Indonesia Cabang Semarang. Nominator Lomba Tulis Cerpen versi Buletin ALIS 2008 Surakarta.
Karya-karya berupa puisi, cerpen, esai dan artikel kebudayaan terpublikasi di beberapa media seperti: Wawasan, Minggu Pagi, Koran Rakyat, Radar Banyumas, Seputar Indonesia, Kompas, Kedaulatan Rakyat, Buletin Sastra Pawon, Buletin Alis dan Buletin Budaya Cangkir. Buku antologi puisi: Syair-Syair Fajar (Penerbit MIMBAR semarang, 2007), Blues Mata Hati (Dewan Kesenian Kabupaten Banyumas, 2008), dan Anak-Anak Peti (Penerbit KSI Semarang, 2008). Buku antologi cerpen: Seputar Pusar (Penerbit Alis, 2008) dan Hani In Memories (Penerbit Bupus Press, 2008).
Alamat : Pendhapa Bunga Pustaka Jl. Pondok Pesantren Roudhatul Tholibin, Dampit, Rt. 07/Rw.01 Kecamatan Kembaran – Banyumas 53182.
Email : yosi_gina@yahoo.com
Blog : www.yosimgiri.blogspot.com
10 Puisi Binoto Hutabalian
Binoto Hutabalian (Binoto H Balian) lahir 13 Juli 1979 di Pardomuannauli Desa Harian Pulau Samosir – Sumatera Utara. Menulis sejak duduk di bangku SMA entah hingga kapan. Menulis Puisi, Cerpen, Cerbung, Opini dan Esai sastra di berbagai media seperti: Majalah Sastra Horison, Majalah Budaya Sagang, Harian Umum Riau Pos, Harian Batam Pos, Harian Riau Mandiri, Harian Global, Harian Medan Bisnis, Harian Analisa, Harian Waspada, Harian Lampung Pos dll.
Sepuluh puisi yang terangkum dalam koleksi Puitika.Net kali ini adalah Kalender Tanpa Berahi; Seikat Doa, dan Pulau Biru; Kibas Purnama di Pesisir Parbaba; Perempuan Penjaga Dermaga; Sarang Para Malaikat; Terowongan Sunyi; Semburat Mu Di Pulauku; Pulang; Sebatang Rokok; serta Replika Air Mata.
Di Semenanjung
Di Semenanjung
arah kedatanganmu
yang tak pernah kau beritahu kepadaku
nasib berlarian, mengitari semesta
semesta, meringkus nasib durjana
engkau, kalimat puisi tertinggal.
engkau, kesan yang tak dapat kutuliskan
betapa cahaya terasa mengepung, melempar
tombak-tombaknya ke punggungku, ke mataku.
camar memanggil dari rentangan cahaya
paruhnya mengais sejuta kengerian ikan
“beri aku tanda, tentang arah kedatanganmu.
kutunggu! meski tanggal gugur, satu-satu.”
meski bulan-bulan menjadi basi
dan tahun membusuk di dadaku
datanglah! datanglah! akan kumaknai penantian
sebagai kutub yang mengangan matahari
peluh yang mengalir adalah pujian
yang tak sampai kepadamu
gelisahku, gemetar daun-daun
datanglah! datanglah!
tunjukan padaku,
bahwa kaubenar ada,
(2008)
Sajak-sajak Iqro' eL. Firdauz (2)
MENDEKATI GERAI
:Yi
di telinga ini
secara kebetulan kita belai membelai
merapat cepat
dan terbang sejadi-jadi
desahmu perlahan berbunyi rindu
lucuti raut mimpiku
aku terpukau
hingga selengang bukit hijau kutimang
segala pohon menggelegar
semua burung jatuh terkesima
sebentar aku pergi melepaskan diri
lalu kembali
cuaca tiba-tiba berangin
udara begitu dingin
tubuhku terasa sengal
sebab udara nyaris anyir
aku berlaga, tapi tidak main-main
menghindari remang dan mencari temaram
sebab aku begitu yakin
kau adalah cahaya yang didera derita
aku pun menunggu
menunggu seperempat wajahmu untuk dicarai
lalu menyimpulkan sepenuh daya
bahwa kau adalah kejujuran
tanpa ada yang menyebut kata itu
termasuk dirimu
Yogyakarta, 2008
—
MEMAHAMI LAUT
DENGAN KEMUNGKINAN
aku hanya ingin melihatnya dengan kengerian
di batas ayat yang mengalir
sebatas pesona keindahan yang berlebihan
mungkin.
mungkin laut adalah kebahagiaan tuhan
tanpa harus bermasturbasi hingga langgeng
aku mesti sedikait melukai perasaan
demi kengerian
yang sejatinya adalah cinta
mungkin.
mungkin tak perlu memaksamu
menyesali atas kebenaran
tenang atas kepiluan
sebab beginilah orgasme pada akhirnya
mari belajar congkak dan bersandiwara
demi kesetiaan
Yogyakarta, 2008
—
MELUCUTI BAJU
kalau ingin merenung kepulan api di mata ini
ada beribu harapan mematung
dibiarkan tanpa ada tangan dan bahasa
sampai kita bisa menyentuhnya
dan menyebut apa ia
aku tak hendak seperti biasa
seperti rumus, kita baca
simpulannya terus selalu itu saja
kita nyaris lupa mencipta mimpi
bahkan buat secarik sepi
kalau ingin merenung
sesuatu itu banyak
hanya kita belum bisa menemukannya
apakah ia
ia itu rahasia
cintalah yang menemukan jawaban atas itu
Yogyakarta, 2008
—
DI KAMAR TERAKHIR
berawal dari kemarau
impianku adalah kegairahan
yang pecah di garis tanganmu
keteduhan yang kita yakini dekat
menyusun kepergian diam-diam
segala rasa resah dan pecah
kukecup keningmu sembari bernyanyi
seperti tak ada sesuatu terjadi
ah, rasanya kau masih terikat
senyumku kau lumat
lalu serangkai kata baku kau muntahkan
jangan lekas tidur, katamu
: itu perpisahan
bukan kepergian yang sebentar, kataku.
Yogyakarta, 2008
—
SESEORANG YANG MENEMANIKU
dari kelahiran empat mata kita
sudah aku membacanya
sebelum lembar berikutnya
kusimpulkan di ujung ubunmu
barangkali aku mencipta pertemuan ini
dan menemainya sebuah diksi
yang sebelumya tak terwujud
kosong.
Yogyakarta, 2008
—
DEFINISI CINTA
cinta adalah seliar akar
bebas menjalar
menyerap sumber air
lirih meraba setiap benda yang ada
cinta bukan riak angin
selalu menginginkan dingin
reranting yang gemetar disana
bukanlah nurani penyair
harus sanggup melafalkan kata-kata yang kau mau
Yogyakarta, 2008
—
BEGITULAH BERMAIN CINTA
kelu adalah sunyi yang berbunyi
seperti kebodohan yang tertata benar-benar
lambat laun menjadi setenang purnama
di tengah tahu menahu saling memandang
mempertemukan kata-kata kita telanjang
dan menyelimutinya dengan ucapan
kemarin, sebelum wajahmu membual di sampingku
kegairahan kita amat kuat untuk mendekap cahaya
segala suram pun pecah
curahan mencerah dan tumbuh bersama
terdengar angin dengan keriangan liar
membawa langit semakin menyamping
kau begitu khawatir
seperti tutur kata dalam hatimu
kau benar
setelah wajahmu membual di sampingku
arus deras datang ke dalam jiwa
melukai usiaku yang separuh
dan menggerus segulung nafsu di mataku
dan sekarang, kau tak perlu khawatir
sebab begitulah bermain di dalam cinta
seperti laut selalu terikat pada arus
selalu ada pasang dan surut
Yogyakarta, 2008
—
Iqro’ eL. Firdauz, adalah penyair kelahiran Sumenep 11 mei 1988. selain menulis puisi juga menulis esai dan skenario film.Beberapa tulisannya telah dimuat di Seputar Indonesia(Sindo), Banjarmasin Post, Radar Madura (Jawa Pos Group), majalah Gong dan majalah Edukasi. Antologi puisinya Cinta Sepenggal (2004). Sekarang tercatat sebagai mahasiswa komunikasi & penyiaran islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.