Meeting ting ting

Posted on by admin
Reply

spacer

Meeting…

Posted in Uncategorized | Leave a reply

Demi Pagi Yang Tak Terlihat

Posted on by admin
Reply

spacer

Kesibukan pagi dimulai dgn siap-siap untuk 2 acara “wah” hari ini. Pertama Dagdigdug.com akan launching. Yang kedua berangkat ke Ambom untuk acara Sharing Keliling Salingsilang.

Dan tulisan ini dikirim dengan Optimus 2X. Android rule.

Posted in Coretan | Tagged ambon, ANDROID, dagdigdug, optimus 2x LG, sharingkeliling | Leave a reply

Demi Torres

Posted on by admin
1

spacer

Klik untuk gambar lebih besar..

Posted in Coretan | 1 Reply

Masih Mau Nonton Sinetron?

Posted on by admin
13

spacer

Kalau saya sudah tidak mau menonton sinetron lagi, sejak dahulu kala. Alasannya? Silahkan simak tulisan teman-teman berikut:

Absurditas di Putri yang Ditukar

Gerakan Koin untuk Sinetron Putri Yang Ditukar

Yang Putri Yang Ditukar

Belajar Dari Nodame

Barang yang Sudah Terlanjur Dibeli Tidak Bisa Ditukar Ataupun Dikembalikan

Itu baru satu sinetron. Padahal sinetron murahan tersebar banyak di televisi kita. Belum ditambah reality show yang cuma menipu dan membodohi. Kasihan kita ya.


*PS: Yang nulis di note FB atau di blognya atau dimanapun soal sinetron jelek, trackback dan comment aja. Ntar dimasukin link diatas hihihi..

Posted in Kapucino, Media | 13 Replies

Indonesia vs Filipina (19/12/2010): Malam Terang di GBK

Posted on by admin
Reply

Kopi paste adalah pekerjaan memalukan. Tetapi untuk menyebarkan cerita ini, saya tidak merasa malu sama sekali. Karena memang layak dibaca oleh semua pecinta sepakbola Tanah Air. Dengan ini sekaligus saya izin kepada indonesianfootballdiary.wordpress.com dan pejalanjauh.com.

Pengantar: Indonesian Football Diary dengan bangga mengumumkan bahwa entri artikel kali ini akan diisi oleh penulis tamu, Zen Rahmat Sugito, yang akan menceritakan kisahnya menyusun dan mengedarkan zine PLAK! hingga ia akhirnya gagal masuk ke dalam stadion saat semifinal leg 2 kemarin

spacer

Setelah pontang panting menyebarkan zine PLAK!, disusul usaha sekuatnya untuk mendapatkan tiket tambahan, saya pun gagal masuk ke Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) untuk menyaksikan langsung semifinal kedua Indonesia vs Filipina. Saya berdiri di depan gerbang besi berjeruji  berwarna biru. Di depan saya, seorang bocah  yang sedang dipanggul di pundak ayahnya terlihat mengenakan jersey timnas bernomor punggung 10. Ia, anak kecil itu, berteriak-teriak penuh semangat, sementara saya berdiri dengan pasrah. Badan terasa lemas, terasa letih.

Lalu gemuruh suara dahsyat itu pun terdengar dari dalam GBK:

“Indonesia, tanah airku, tanah tumpah darahku….”

Sungguh, mendengar gemuruh suara nyanyian itu perasaan saya campur aduk. Sudah banyak yang bilang bahwa menyanyikan Indonesia Raya di dalam stadion bersama puluhan ribu orang akan selalu terasa menggetarkan. Saya sering mengalaminya, sangat sering, berkali-kali. Menggetarkan, memang. Tapi, sungguh, kecamuk perasaan yang menjalar saat mendengar gemuruh nyanyian itu sangat berbeda dalam posisi saya saat itu. Tak sekadar merasa tergetar, tapi juga sedih dan kecewa, juga marah.

spacer

Saya diam beberapa detik. Orang-orang masih hilir mudik mencoba mencari sisa tiket. Petugas keamanan berjejer di pintu masuk. Iqbal Prakara, kawan saya yang paling keras kepala, sama-sama terlihat muram wajahnya. Lalu, dengan spontan, saya angkat syal merah putih ke atas kepala dan lalu dengan lantang bergabung bersama gemuruh nyanyian dari dalam itu, bedanya saya dari luar stadion, di depan sebuah gerbang berjeruji yang membuat sejumput kecil pemandangan di dalam GBK terlihat lamat-lamat.

“Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku, bangsaku, rakyatku, semuanya….”

Iqbal mengepalkan tangannya dan mengangkatanya tinggi-tinggi ke udara dan bergabung dengan saya menyanyikan Indonesia Raya. Orang-orang di sekeliling yang tadinya diam mulai ikut angkat suara.

Saya tak ingin mengalami momen dan suasana macam itu. Saya ingin ada di dalam stadion, sangat ingin. Tapi nasib memang kesunyian masing-masing. Dan saya, bersama Iqbal juga beberapa yang lain, menyanyikan Indonesia Raya dalam kesunyiannya yang justru terasa lebih mengharukan, sejenis keharuan yang tak biasa, terasa lebih khas ketimbang yang pernah saya rasakan saat menyanyikan Indonesia Raya dari tribun selatan GBK.

“Asu, aku mbrebes mili (anjing, aku berkaca-kaca),” kata Iqbal kemudian.

Orang harus mengalami apa yang kami rasakan untuk sepenuhnya paham umpatan Iqbal.

*** Continue reading

Posted in Coretan, Opini | Leave a reply

Menjadi Indonesia

Posted on by admin
2

“Menjadi orang Indonesia itu lebih pantas diukur dari seberapa banyak manfaat yang telah diberikan oleh seseorang itu kepada bangsa ini. Bukan karena numpang lahir, atau pun karena takdir menitipkan dia lahir atas ibu/bapak seorang Indonesia”

Baiklah. Katakan saja saya seorang “sok filosofis” karena ungkapan saya demikian. Tetapi buat saya pribadi, itulah jawaban paling akurat untuk polemik naturalisasi TimNas sepakbola kita. Bentuk nasionalisme akut? Bisa jadi. Tetapi itu ungkapan paling jujur dari saya. Bisa jadi sebuah pandangan tidak berdasar, tidak ada konteks ilmiah di dalamnya, apalagi konteks hukum dan tetek bengeknya.

Ungkapan itu lahir karena sejatinya saya mengolah pandangan dan pola pikir saya dari apa yang saya dapat selama ini, baik itu bacaan maupun pengalaman. Dari banyak orang yang saya temui, seberapa banyak cerita dan diskusi warung kopi saya nikmati, model-model karakter orang yang sepintas lewat dalam hidup saya. Ya, teman-teman, rekan kerja, atau anda mungkin yang sempat sekelebat lewat di depan mata. Itu lah bentuk pengalaman saya.

Sebagai orang Aceh, bisa dikatakan “kebanyakan” teman saya dari Aceh, atau bahkan keluarga saya sendiri dari Aceh, punya pandangan berbeda. Pertanyaan pertama mereka selalu ketika saya pulang kampung “Kapan kau bangun Aceh ini? Apa yang sudah kau kasih buat Aceh ini? Kau kan orang Aceh!” Oh, okay. Pertanyaan itu tidak menjadi penting lagi untuk saya saat ini, atau bahasa halusnya “udah biasa”. Saya bisa paham, mereka -saudara dan teman-teman saya dari Aceh- melihat dalam ikatan sosial yang lebih sederhana, geografis yang lebih kecil. Aceh. Jadi wajar pertanyaan seperti itu terlempar buat perantau seperti saya. Dan saya yakin, situasi yang sama juga dirasakan teman-teman dari suku atau daerah lain, ketika ditanya atau disinggung dengan ungkapan serupa. Yang berbeda cuma ikatan sosial dan nama letak geografisnya saja.

Menjadi Indonesia itu bukan persoalan darah. Menjadi Aceh, Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Flores, atau Papua itu bukan perkara numpang lahir. Bahkan “Menjadi Indonesia”, tidak sama dengan “menjadi warga Indonesia”. Menjadi warga Indonesia adalah sebuah entitas biasa saja. Ketika ego kita butuh untuk dilabeli sebagai komunal besar, anggota dari sebuah negara, secara hukum dan sosial. Terbayang kalau misal nanti Bumi ternyata bukan lagi satu-satunya planet di alam semesta? Ada ego komunal baru lagi yang kita butuhkan, warga bumi. Mungkin nanti ada yang namanya KTPB. Kartu Tanda Penduduk Bumi.

Persoalan “menjadi” itu memang filosofis menurut saya. Juga ada unsur bentuk tanggung jawab di dalamnya. Ketika ada yang bilang, “Gw sekarang udah jadi web designer, Bro” atau “Saya sekarang udah jadi PNS, Mas”, maka disana ada makna bukan sekedar punya NIP atau NPWP. Ada tanggung jawab bukan? Bekerja dengan profesional sebagai seorang web designer. Bekerja dengan tanggung jawab sebagai PNS. Dan disanalah bentuk “menjadi” itu memiliki arti yang lebih tepat.

Kalau kita menerapkan standar yang sama untuk hal-hal sederhana demikian, maka persoalan “menjadi Indonesia” malah justru tidak sesederhana memiliki KTP Indonesia. Ada tanggung jawab disana, ada nilai-nilai manfaat yang harus dipersembahkan buat negeri ini.

Jika seorang setengah darah Indonesia, atau tidak berdarah Indonesia sama sekali, mau mencium burung garuda di dada kirinya setelah mencetak gol, dan mengangkat kebanggaan bangsanya, saya rasa dia pantas untuk diberikan label “menjadi Indonesia”. Sebaliknya, jika seorang pejabat sekental apa pun darah Indonesianya tetapi justru, membuat sengkarut, korup, dan bikin ribut, maka lebih tepat kalau saya katakan pejabat itu cuma numpang berak di Indonesia.

Saya memang belum bisa “menjadi orang Aceh”, apalagi “menjadi seorang Indonesia”. Tetapi saya percaya, bahwa “menjadi” itu bukan seperti meninggalkan jejak lalu tersapu angin. “Menjadi” itu ibarat membangun rumah. Dan selalu ada pilihan untuk menghancurkan rumah tersebut.

Semoga saya dan anda tidak demikian.

Posted in Coretan | 2 Replies

Nurdin Yang Terkutuk

Posted on by admin
10

“Revolusi timbul dengan sendirinya sebagai hasil dari berbagai keadaan.” – Tan Malaka (1925)

Menonton Indonesia dari televisi. Menonton ke sekian kali Tim Merah Putih bertanding dengan negara-negara tetangga.

Awalnya saya tidak berharap banyak, 2 atau 3 tahun saya cukup kecewa dengan penampilan Timnas. Saya memang bukan seorang yg jago menganalisis pertandingan. Tetapi melihat pertandingan-pertandingan yang pernah ada, seperti melihat sebuah motor yang rusak di busi-nya. Distarter ngadat. Didorong pun harus dipaksa sambil masukkan gigi satu.

Saya pernah bahas soal ini di tulisan-tulisan sebelumnya. Prestasi tim nasional mandek, mau tidak mau karena buah kompetisi yang baunya tidak enak. Ujung-ujungnya, buah ini semakin tercium busuk setelah ditarik ke level manajemen Sepakbola negeri ini. Yaitu PSSI sendiri. Dan dengan “setan-[setan]” di dalamnya bernama Nurdin Halid [dan cs-nya].

Bukti? Cukup lelah koran-koran dan media lainnya bersuara. Dan saya tidak perlu membuat diri capek lagi hanya untuk menyentil orang satu itu. Sentilan itu tidak mempan, bisa jadi karena memang “setan-[setan]“ itu sudah bermuka tebal. Padahal saya sendiri percaya, setan saja masih punya malu dan harga diri.

Tetapi asa kembali muncul ketika sebuah photo profil ditag ke halaman Facebook saya. Photo seseorang yang cukup nekat, mengenakan kaos putih bertuliskan “Aku berlindung dari godaan Nurdin yang terkutuk”, dengan latar dirinya sedang memandang jauh Stadion Senayan “GBK”. Saat itu, suporter nekat itu sedang menonton Tim Garuda melawan Tim Nasional Uruguay dalam rangka uji tanding sebelum menjajal kejuaran Piala AFF Suzuki Cup Desember ini. Entah bagaimana, saya merasa photo itu cukup mewakili kekecewaan, tetapi juga sekaligus harapan. Bahwa saya, si suporter gila itu, dan berjuta-juta fans sepakbola tanah air masih punya harapan untuk hadir di Senayan dan menyaksikan tim kebanggaannya menang.

Suatu masa yang lain, dari radio streaming yang penuh dagelan, bernama Radioteflon, saya mendengar analisa menarik untuk peluang Indonesia di AFF. Wawancara dagelan itu pun tidak lupa menyinggung prestasi timnas dan pengaruh dari bobroknya PSSI bersama “setan-[setan]“-nya. Satu kali lagi saya mencatat, si narasumber yg gemar menulis blog soal bola itu, juga yakin bahwa kita masih bisa berprestasi. Prestasi itu tidak dijemput, tetapi harus dikejar. Dan PR kita masih banyak, termasuk membenahi PSSI dan sistem kompetisi lokal yang acak kadut.

Dan semalam, juga 2 malam sebelumnya, menjadi bukti bahwa kita mampu. Nurdin cs yang pesimis, dan sempat menentang cara pelatih Alfred Riedl mengatur tim, justru dibalas tegas kemenangan telak. Lima satu dengan Malaysia, setengah lusin bersama Laos.

Kita bisa menang. Bahkan bisa lebih baik dari sekarang. Dan kemenangan itu semua bukan hak Nurdin sama sekali. Dia lebih pantas turun sekarang juga dari PSSI. “Lindungi Indonesia dari godaan Nurdin yang terkutuk”

spacer

*thanks to @zenrs @hedi @colonelseven @di_larashati @escoret @epat @kelakuan dan semua yg menginspirasi. Kalau kata Tan, “Dalam tiap-tiap macam perjuangan, inisiatif mempunyai nilai besar” – Tan Malaka.

Saya akan turut ke Final. Siapkan satu kaos untuk ku ya!

Posted in Kapucino, Media | 10 Replies

Istimewa Dengan Cara Sederhana

Posted on by admin
12

Belum selesai trilogi saya tentang blog dan twitter Indonesia. Namun, saya merasa butuh menuliskan soal blog dan twitter (juga social media lainnya) dalam sudut pandang yang remeh temeh.

Sebentar lagi Pesta Blogger 2010 digelar. Istimewa? Bagi saya posisi Pesta satu itu masih istimewa. Istimewa dalam sudut pandang sederhana saya sebagai blogger sekaligus penggiat dunia online ala kadarnya. Buat saya bukan istimewa soal perlehatannya yang memakai judul “Pesta”. Bukan pula  soal sponsornya seperti yang diributkan banyak orang. Apalagi sampai membahas premodialisme komunitas atau sengkarut antara pusat dan daerah. Buat saya itu kisah klasik dan laten setiap tahunnya.

Continue reading

Posted in Coretan | 12 Replies

Tuhan Yang Maha Cerdas

Posted on by admin
5

Saya terlalu bodoh untuk paham investigasi selebritis di sebuah televisi. Bukan investigasi tentang si seleb yang cerai, atau putus sambung. Justru di acara itu, si seleb diajak untuk berinvestigasi tentang fenomena alam.

Membahas tanda-tanda alam yang belum valid secara sains tentang pengaruhnya pada bencana. Dan yang diajak ngobrol disini para artis, yang saya sendiri tidak tahu kapasitas mereka sebagai artis atau sebagai saintis. Ini lucu buat saya, kalau anda tidak mengatakan saya bodoh.

Memang saya bukan saintis juga. Tetapi sedikit ilmu bumi dan keinginan mencari tahu di google atau majalah-dan buku, cukup membantu saya mengambil kesimpulan. Saya sampai saat ini masih tidak bisa (atau berani tepatnya) mengambil kesimpulan, bahwa awan yg berbentuk aneh, atau fenomena cahaya HALO matahari ada hubungannya dengan pertanda bencana alam.

Dan cukup menggelikan ruang pikir saya juga, ketika para artis bicara, ini adalah pertanda dari Tuhan. Belum lagi ditambah iming-iming suara narator yang mengesankan memang demikian adanya. Saya jadi semakin yakin, Indonesia kekurangan bahan ajar sains di televisi.

Padahal, bagi orang bodoh seperti saya, Tuhan Yang Maha Cerdas, justru bisa memberikan tanda-tanda yang lebih jelas dan cerdas dari sekedar fenomena alam yang tidak bisa ditebak tersebut. Continue reading

Posted in Coretan | 5 Replies

Blog dan Twitter Indonesia (Part 1)

Posted on by admin
9

Ketika mencari-cari di Google, saya menemukan beberapa data yang menarik. Ini bukan soal proposal dan jualan kecap. Tetapi bisa menjadi catatan menarik jika anda seorang blogger “yang peduli”, atau pun seorang pengguna twitter “yang sehat”.

Sebelumnya mungkin kita harus tahu dulu beberapa catatan umum dan penting. Berdasarkan data APJII Juni 2010, pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 45 juta. Sementara pengguna Facebook per Agustus 2010 tercatat lebih dari 27 juta user dari Indonesia. Dan Indonesia mencatat rekor penetrasi twitter tertinggi dalam setahun ini (20,8%), dengan menduduki posisi ke-6 pengguna Twitter terbanyak (2,41%).

Pembahasan ini akan saya detailkan dalam 3 bagian. Dimana pada bagian akhir akan kita coba lihat seberapa besar aktifitas blogging dan kaitannya dengan penetrasi twitter akhir-akhir ini. Semoga akan ada sedikit kesimpulan dan manfaat yang bisa diperoleh.

Continue reading

Posted in Kapucino, Media | 9 Replies

Menulis dan Bicara

Posted on by admin
8

Tangan saya kaku. Dan kepala saya seperti terbentur tembok.

Kira-kira begitu yang saya rasakan ketika ingin memulai menulis. Berlebihan? Mungkin saja. Tapi memang demikian adanya.

Kira-kira beberapa minggu kebelakang, saya harus menulis. Menulis karena harus. Juga sesekali masih mencoba menulis komentar di Politikana. Juga masih sempat-sempatkan menulis sahutan di milis. Hasilnya? Tidak memuaskan hati sama sekali.

Cara saya menyampaikan sesuatu lebih sering berputar-putar, dengan penggunaan kata yang terbalik-balik antara S P O K. Kalau dibilang gaya bahasa orang timur, tidak juga. Karena toh saya masih bisa mengerti tulisan dan gaya bahasa teman-teman dari timur. Dari Aceh? Mirip-mirip saja dengan bahasa timur. Memang pilihan kata-kata antara objek dan subjek (dan keterangan 1, 2, dan embel-embelnya) itu sering terbalik di daerah-daerah ujung Indonesia itu. Tapi seburuk-buruknya pun, saya masih paham dan mengerti.

Untuk tulisan-tulisan saya itu, justru tidak. Continue reading

Posted in Coretan | 8 Replies

Selamat Datang Piala Dunia 2010

Posted on by admin
5

spacer

Hasil oret-oretan sendiri menyambut Piala Dunia 2010

Posted in Coretan | 5 Replies