Category Archives: Puisi

Penjaga Pelabuhan

Posted by Fitri Yani on 16 Desember 2010 No comments

“bapak, biarkan kami bersaksi
bahwa kau pernah menjadi ombak
di dada kami

kelak, kami kabarkan kepergian kepada burung laut
sebagai isyarat bagi pelabuhanmu
yang mulai tunai mengatakan perjumpaan”

debur ombak
bergemuruh di dada sepasang remaja

selalu ada tanda bagi segala yang akan tiba
lewat bayang karang dan matahari yang bertegur sapa

Tanjungkarang, Februari 2008

Melayat

Posted by Fitri Yani on 4 Februari 2010 No comments

lima bocah berkabung di rumah duka
yang ditinggal mati anjing tetangga

Mei 2009

Penjahit dan Kainnya

Posted by Fitri Yani on 4 Februari 2010 No comments

peristiwa yang saya alami ini, tuanku
tak segembira sepasang remaja yang menjalin
benang-benang asmara di dada mereka

tak pula sepasti runcing jarum atau tajam gunting
ketika menusuk dan mengoyak jalinan badan saya

karena sejak terjalin sebagai benang terpintal sebagai kain
terendam di air sabun tergantung di lemari dan jemuran

saya telah tunai meski ada yang terasa belum usai
ketika melekat di tubuh anda menyerap keringat
menjadi nostalgia, kebal pada panas-dingin cuaca

(seperti ada yang tak mampu saya sembunyikan
selain kulit atau penanda usia di tubuh anda)

maka bersama seluruh perasaan anda, tuanku
jahitlah bagian saya yang koyak agar tetap
ada yang berdegub di dalam dada

hingga tak akan ada perasaan bangga atau kecewa
jika tiba-tiba saya, pintalan kain ini, anda sulap
menjadi gaun atau kebaya

Bandar Lampung, Mei 2009

Air dan Tanah yang Dijumpainya

Posted by Fitri Yani on 4 Februari 2010 No comments

kau selalu memintaku diam
setiap kali kau kujumpai

”menggenanglah, barangkali di tubuhku
kau telah lama ada”

tapi aku ingin mengalir
sambil menafsir liukan luka di tubuhmu

menjadi tamu
meski kita tak kunjung merasa bertemu

mencari alamat
meski tak pernah pasti setiap isyarat

“tanpa kau, aku akan menyerpih
menjadi debu”

tak akan pernah cukup bagiku
bila sekedar lesap ke tubuhmu

”apalah beda sebuah dunia bagimu
bila hulu dan hilir terlahir sebagai dirimu sendiri”

awal dan akhir
bagiku ada pada matahari

(ketika dua matahari
jatuh di batas samudera

ketika ombak membuka diri
memanggil para penunggang pagi)

aku mendengar dzikir musafir
aku melihat daun-daun menguning

“berulangkali kau terlahir
dan kita selalu bertemu”

bukankah aku menumbuhkan
segala yang kau kandung?

Tanjungkarang, Agustus 2009

Kamar yang Terbuka

Posted by syahyudhi on 14 Januari 2010 No comments

bayang menunggangi malam
keduanya lalu terbang
hilang …

kelelawar pun terbang
kelelawar tetap terbang

engkau pula yang bertanya :
“berapa dalam kematian?”

ini kamar terbuka, cintaku
dalam pasukan pasir waktu
tak lengkap juga jawab yang diucapkan
tak lengkap juga Tuhan yang dibayangkan.

03-04/2009

Haiku Lama

Posted by sumantri widatdo on 27 Desember 2009 No comments

Kakek Terbatuk
Dinding Fantasi Biru
Digelas Batu

Puisi-Puisi Yosi M Giri

Posted by Editor 2 on 24 November 2009 No comments

Kabut Yang Memataiku

demi dingin yang menyertaiku pulang kampung,
aku memoles malam dengan gemetaran
hidup yang ditiupkan setiap jemari kuharap
tak berhenti hanya karena jalanan ini sepi dan pengap

tapi kerling itu, tak cukup menggangguku
tidak juga kabut itu, aku hanya perlu menciumnya
dan selebihnya kuhancurkan kugempur
dan kau pun tahu, diam-diam mereka menyertaiku
dan memataiku

Bunga Pustaka, Maret 2009

Pada Sebuah Kata

Di lorong-lorong hening
Tiap pasang mata menjelma matahari
Sinaran leluasa yang dikelabui kabut

Jangan berharap kau dapat dekat mendekapnya erat
Jika reruntuhan sesunyi itu telah meninggalkan riwayat
Bakal api kembali debu
Dan sesekali berteduh di rumah-rumah lebah

Akankah kau percaya pada dinding
Tempat dingin membentuk wajahmu
Bersama surat-surat yang tak satu pun terbalas
Walau hanya sebatas senyum dan angan

Akhirnya, kata-kata menyembunyikan mereka
Seperti pori-pori kulit dari kejauhan kau memandang

Pendhapa Bunga Pustaka, 2009

Tuhan dan Semut Nakal

Tuhan,
Semut itu mulai nakal,
Menggerogoti daging-dagingku yang lapar
Tak ada pembagian bagi mereka
Tak ada yang bisa kubanggakan dari mereka

Semut-semut itu makin liar
Makin lapar melebihi laparku
Tuhan,
Mengapa aku begitu ketakutan hanya
Karena sepotong roti itu mereka keroyok
Mereka pikir mereka bisa menghabiskannya?
Tidak, aku entah kenapa tak akan membiarkan mereka
Kenyang,
Mungkin karena mereka hanya semut
Semut yang bisa kulibas kapan saja
Semut yang bisa kulindas semauku
Semut yang…
Tapi, kenapa aku merasa begini
Bukankah itu hanya sepotong roti sisaku semalam?
Bukankah mereka juga punya perut yang lapar?!
Tuhan,
Ternyata aku yang nakal.

Bunga Pustaka, 2009

Aku Malu

Aku malu pada wajahku,
Sejak kutemukan diriku bukan lagi cokelat, sawo matang, rambut hitam.
Aku malu pada bukit buku-buku dan tropi di mejaku
Sejak kujumpai bocah kumal kepanasan di tepi-tepi jalan.
Sekitarku: doa menjadi harapan yang ditulis rapi
Dan dalam saku celanaku, janji dan bualan sekedar pemanis hidup
Sembari mengulang-ulang kemesraan di sudut kamar

Aku makin malu pada mereka,
Yang masih sempat tersenyum
Meski jiwa dan lolongan mereka melebihi derik jangkrik di kampungku
Meski tangisan mereka tak semerdu nyanyian burung pipit,
Barangkali sayap-sayap mereka yang rontok tak lebih berarti
Daripada perut yang menggelinjang kesakitan
Karena selama 24 jam, hanya sekali makan, itupun sisa jilatan anjing dan tikus-tikus got

Aku malu pada wajah negeriku,
Yang berabad-abad dijajah tapi berani berlapang dada
Begitulah, kiranya negeriku yang lapang kian jadi ladang bangga

Bunga Pustaka, 2009

Cahaya Membayang

bayang-bayang tubuhmu memancar
membiarkanku gemetaran dalam rindu-rindu api
aku tak bisa sembunyi lagi dari riuh kedalaman merahmu

aku menggambar hati di langit
di pintu hujan membawa kenangan
dan debu-debu meluncur dari ketinggian
menuju gelombang yang tak pernah kudengar gemuruhnya

semenjak itu, aku mencintai celah dari rangkaian rayumu
yang dingin dan melulu salju
sembari menimbang bagian dari tubuhmu
yang akan kukendurkan bersama bunga-bunga hujan

Pendhapa Bupus, 2009

Hujan Panah

Xerzes,
mungkin dewa yang darahnya terlalu dingin
butuh tanah dan air yang tak kan pernah diberikan Leonidas
padanya, hanya ujung tombak sekedar melewati bibir setebal gurun pasir

namun, hujan panah yang menutupi matahari
barangkali hanya sedikit dari celetuk Raja diraja,
sekedar ungkapan tirani yang mungil bagi pasukan budak seperti orang-orang Sparta

kau tahu,
tubuh yang melayang di atas altar-altar kesunyian dan melagukan pelangi
pun turut meniduri para bidadari,
ia tak lagi menatapmu seperti pahlawan di kelas-kelas yang penuh sarang laba-laba
menitahkan sedikit ucapan bangga bagi ribuan pulau
dan kau akan menemuiku dengan tubuh merunduk
menyalamiku dengan segenap rambu-rambu
tahukah kau arti rinduku pada rindumu

Bunga Pustaka, 2009

Sejumput Akal

Padaku,
Rumput-rumput itu tak sengaja menyapa
Dalam bahasanya yang paling absurd
Aku kira kau tahu cuaca tak lagi bisa ditebak
Bakal meleleh atau sebeku salju

Padaku,
Rumput-rumput itu tak sengaja bicara
Dalam subuh yang memberikan jeda bagi
Setiap mimpi dan doa yang sengaja kudenguskan
Dalam tiarap rinduku yang kepayang

Bunga Pustaka, Maret 2009

Yosi M Giri, bernama lengkap Yosi Muhaemin Giri ini lahir di Pemalang 4 Desember 1986. Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Komunitas Sastra Bunga Pustaka. Juara II Lomba Tulis Puisi Valentine 2007 versi Majalah GAUL, Juara I Lomba Cipta Puisi Se-Jawa Tengah tahun 2008 versi Komunitas Sastra Indonesia Cabang Semarang. Nominator Lomba Tulis Cerpen versi Buletin ALIS 2008 Surakarta.

Karya-karya berupa puisi, cerpen, esai dan artikel kebudayaan terpublikasi di beberapa media seperti: Wawasan, Minggu Pagi, Koran Rakyat, Radar Banyumas, Seputar Indonesia, Kompas, Kedaulatan Rakyat, Buletin Sastra Pawon, Buletin Alis dan Buletin Budaya Cangkir. Buku antologi puisi: Syair-Syair Fajar (Penerbit MIMBAR semarang, 2007), Blues Mata Hati (Dewan Kesenian Kabupaten Banyumas, 2008), dan Anak-Anak Peti (Penerbit KSI Semarang, 2008). Buku antologi cerpen: Seputar Pusar (Penerbit Alis, 2008) dan Hani In Memories (Penerbit Bupus Press, 2008).

Alamat : Pendhapa Bunga Pustaka Jl. Pondok Pesantren Roudhatul Tholibin, Dampit, Rt. 07/Rw.01 Kecamatan Kembaran – Banyumas 53182.
Email : yosi_gina@yahoo.com
Blog : www.yosimgiri.blogspot.com

Di Semenanjung

Posted by AGIT YOGI SUBANDI on 24 November 2009 No comments

Di Semenanjung

arah kedatanganmu
yang tak pernah kau beritahu kepadaku

nasib berlarian, mengitari semesta
semesta, meringkus nasib durjana

engkau, kalimat puisi tertinggal.
engkau, kesan yang tak dapat kutuliskan

betapa cahaya terasa mengepung, melempar
tombak-tombaknya ke punggungku, ke mataku.

camar memanggil dari rentangan cahaya
paruhnya mengais sejuta kengerian ikan

“beri aku tanda, tentang arah kedatanganmu.
kutunggu! meski tanggal gugur, satu-satu.”

meski bulan-bulan menjadi basi
dan tahun membusuk di dadaku

datanglah! datanglah! akan kumaknai penantian
sebagai kutub yang mengangan matahari

peluh yang mengalir adalah pujian
yang tak sampai kepadamu

gelisahku, gemetar daun-daun
datanglah! datanglah!

tunjukan padaku,
bahwa kaubenar ada,

(2008)

Sajak-sajak Iqro' eL. Firdauz (2)

Posted by Editor 2 on 24 November 2009 No comments

MENDEKATI GERAI
:Yi

di telinga ini
secara kebetulan kita belai membelai
merapat cepat
dan terbang sejadi-jadi
desahmu perlahan berbunyi rindu
lucuti raut mimpiku

aku terpukau
hingga selengang bukit hijau kutimang
segala pohon menggelegar
semua burung jatuh terkesima

sebentar aku pergi melepaskan diri
lalu kembali

cuaca tiba-tiba berangin
udara begitu dingin
tubuhku terasa sengal
sebab udara nyaris anyir

aku berlaga, tapi tidak main-main
menghindari remang dan mencari temaram
sebab aku begitu yakin
kau adalah cahaya yang didera derita
aku pun menunggu
menunggu seperempat wajahmu untuk dicarai
lalu menyimpulkan sepenuh daya
bahwa kau adalah kejujuran
tanpa ada yang menyebut kata itu
termasuk dirimu

Yogyakarta, 2008

MEMAHAMI LAUT
DENGAN KEMUNGKINAN

aku hanya ingin melihatnya dengan kengerian
di batas ayat yang mengalir
sebatas pesona keindahan yang berlebihan
mungkin.

mungkin laut adalah kebahagiaan tuhan
tanpa harus bermasturbasi hingga langgeng
aku mesti sedikait melukai perasaan
demi kengerian
yang sejatinya adalah cinta
mungkin.

mungkin tak perlu memaksamu
menyesali atas kebenaran
tenang atas kepiluan
sebab beginilah orgasme pada akhirnya

mari belajar congkak dan bersandiwara
demi kesetiaan

Yogyakarta, 2008

MELUCUTI BAJU

kalau ingin merenung kepulan api di mata ini
ada beribu harapan mematung
dibiarkan tanpa ada tangan dan bahasa
sampai kita bisa menyentuhnya
dan menyebut apa ia

aku tak hendak seperti biasa
seperti rumus, kita baca
simpulannya terus selalu itu saja
kita nyaris lupa mencipta mimpi
bahkan buat secarik sepi

kalau ingin merenung
sesuatu itu banyak
hanya kita belum bisa menemukannya
apakah ia

ia itu rahasia
cintalah yang menemukan jawaban atas itu

Yogyakarta, 2008

DI KAMAR TERAKHIR

berawal dari kemarau
impianku adalah kegairahan
yang pecah di garis tanganmu
keteduhan yang kita yakini dekat
menyusun kepergian diam-diam
segala rasa resah dan pecah

kukecup keningmu sembari bernyanyi
seperti tak ada sesuatu terjadi
ah, rasanya kau masih terikat
senyumku kau lumat
lalu serangkai kata baku kau muntahkan
jangan lekas tidur, katamu
: itu perpisahan
bukan kepergian yang sebentar, kataku.

Yogyakarta, 2008

SESEORANG YANG MENEMANIKU

dari kelahiran empat mata kita
sudah aku membacanya
sebelum lembar berikutnya
kusimpulkan di ujung ubunmu

barangkali aku mencipta pertemuan ini
dan menemainya sebuah diksi
yang sebelumya tak terwujud
kosong.

Yogyakarta, 2008

DEFINISI CINTA

cinta adalah seliar akar
bebas menjalar
menyerap sumber air
lirih meraba setiap benda yang ada

cinta bukan riak angin
selalu menginginkan dingin

reranting yang gemetar disana
bukanlah nurani penyair
harus sanggup melafalkan kata-kata yang kau mau

Yogyakarta, 2008

BEGITULAH BERMAIN CINTA

kelu adalah sunyi yang berbunyi
seperti kebodohan yang tertata benar-benar
lambat laun menjadi setenang purnama

di tengah tahu menahu saling memandang
mempertemukan kata-kata kita telanjang
dan menyelimutinya dengan ucapan

kemarin, sebelum wajahmu membual di sampingku
kegairahan kita amat kuat untuk mendekap cahaya
segala suram pun pecah

curahan mencerah dan tumbuh bersama
terdengar angin dengan keriangan liar
membawa langit semakin menyamping

kau begitu khawatir
seperti tutur kata dalam hatimu
kau benar
setelah wajahmu membual di sampingku
arus deras datang ke dalam jiwa
melukai usiaku yang separuh
dan menggerus segulung nafsu di mataku

dan sekarang, kau tak perlu khawatir
sebab begitulah bermain di dalam cinta
seperti laut selalu terikat pada arus
selalu ada pasang dan surut

Yogyakarta, 2008

Iqro’ eL. Firdauz, adalah penyair kelahiran Sumenep 11 mei 1988. selain menulis puisi juga menulis esai dan skenario film.Beberapa tulisannya telah dimuat di Seputar Indonesia(Sindo), Banjarmasin Post, Radar Madura (Jawa Pos Group), majalah Gong dan majalah Edukasi. Antologi puisinya Cinta Sepenggal (2004). Sekarang tercatat sebagai mahasiswa komunikasi & penyiaran islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Sajak-sajak Iqro' eL. Firdauz

Posted by Editor 2 on 24 November 2009 No comments

TEMAN DAN TAMAN

teman dan taman
seperti buah ranum di dada perawan
mendekap dan teresap
diemban dan tergenggam kemanapun ia melayang
sampai dongeng sebelum tidur

teman dan taman
adalah rindu sungai pada ombak
aliri paritparit dalam buku harian
hingga celah-celah pada muara malam

tapi tak pernah ada yang mengerti
tentang ketenangan yang merobek-robek sunyi
dan keramaian yang lebih nikmat dari hujan
mengalir kencang dan penuh bahagia

Pare, 5 juli 2008

MEANG

seperti juga tubuh laut
ia bahkan tak tahu
kemana nafas akan dan telah terbawa
menjadi ladang para nelayan
kisah cinta entah siapa
siapa yang dimiliki dan memiliki
ataukah kematian dari nafsunya

ia bahkan tak tahu
seperti apa kejujuran
yang terkadang pasang begitu surut

Pare, 2008

SEBUAH JAWABAN
:KEMATIAN

hujan tak seperti biasa mengguyur kepala
turun saat terik mata
berlenggang tanpa aba-aba
seperti mukjizat pada rasul-rasul
menjelma diriku
menggantikan ruah-riuh dinding kamar

geremet gerak tangan dan bisikan suara
terpancang ke selangkangan aliran sungai
menjadi gelombang membawa kapalku
ke arah yang amat tepi
entah kenapa mengantarku persis
seperti gelagat dan gereget gerak arah mata

dan ketika siang. Iapun menjelma lonceng
disamping bantalku
berdering saat diluar ada kematian
dan aku harus bergegas pergi
menulis siapa saja yang mati dan mati-matian

Pare, 2008

HIKAYAT SEPI

pada air yang tak bergemericik
diam dibiarkan terkulai
merindukan debur ombak di kamar itu

dalam ketenangan seperti itu
selalu ia terbiasa
atau entah membiasakan berlarut lanjut
menunggu hujan amat deras
aku tahu singgahnya hanya sebentar
secepat daun berbaring lalu mengering

Pare, 2008

28 : AKU MEMBACANYA

sebelum tumbuh menjadi angan
darahmu menulis sajak
serupa garis tertuju pada rusukku

aku baca warnamu
seperti menyuruhku menyibak air mata
melupakan gemuruh hujan

akupun baca matamu
seperti mengajakku mengeja kata
untuk mencipta suara

aku baca juga garis-garismu
seperti jerit jantung yang memanggilku
lalu aku menghampirimu
menyaksikan tarianmu
diantara tulang-tulang rusukku
:lekuk tubuhmu meledakkan isi kamarku
tempat aku menggali rindu

Yogyakarta, 2008

Iqro’ eL. Firdauz, lahir di Sumenep Madura, 11 Mei 1988. Mahasiswa Komunikasi & Penyiaran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain menulis puisi dan cerpen ia juga menulis skenario film. Puisi-puisinya telah dimuat di media lokal maupun nasional, seperti Seputar Indonesia, Banjarmasin Post, Radar Madura (Jawa Pos Group), Edukasi. Antologi puisinya terkumpul dalam Cinta Sepenggal (2004). Sekarang Bergiat di Komunitas Kosong, Yogyakarta.

gipoco.com is neither affiliated with the authors of this page nor responsible for its contents. This is a safe-cache copy of the original web site.