Category Archives: Puisi Bulan Ini
Kabar Terkubur
;rindu kemenakan
jauh sebelum rumput liar ditimbuni tanah merah di kepalamu
telah aku eja serumpun makna walau tak bersua
kita pernah berdua mengekori apa maunya abad, pun jua tersesat
saat mengejar kilat air yang coba beramah tamah di padang pasir
jauh sebelum rumput liar ditimbuni tanah merah di kepalamu
telah kau pahat sendiri
rupa nisan sehabis mengkhatamkan sunyi
‘jadilah superman.” katamu
ketika kumenangis pulang sekolah. dan kau menyanyi lagu lawas
aku terlalu kepompong untuk meraba makna yang tak bersua
kemenakan rindu kau jinjing, mak
namun pangku pupus jinjingan retak
tongkat tertanam dimakan rayap
dan kau pulang tak bilang-bilang
dalam igau rindu ku pajang
jauh sebelum rumput liar ditimbuni tanah merah di kepalamu
kusimpul saja makna baku:
sebuah bantal selimut tebal susu kental lebih ku kenal ketimbang menghafal sesal
tentang matahari yang padam di tungku api—lagi kau tangisi
kubilang aku terlalu kepompong untuk meramu madu dan mengasah pilu setajam paku
kaulah yang urung berkabar sebelum berkubur
perihal peti resah yang simpan rahasia; kesedihan
Padang, desember 2007
Biodata Penulis :
Arif Rizki lahir di Bukittinggi, 15 Maret 1987. Menamatkan SD, SMP dan SMA di Bukittinggi. Saat ini tengah menjalani studi nya di Fakultas Sastra dan Seni jurusan Sastra Inggris di Universitas Negeri Padang. Mempublikasikan tulisan-tulisannya yang berupa puisi, cerpen, essay, resensi dan opini di beberapa media lokal Padang seperti Harian Singgalang dan Padang Ekspress. Aktif menulis semenjak berada di sekolah menengah atas. Puisi secara intens digeluti semenjak menduduki bangku perkuliahan. Saat ini aktif dalam berbagai komunitas sastra seperti Kelompok Studi Sastra dan Teater (KSST) Noktah, RuangSempit dan HangarJet. Hobi mengkoleksi buku, kaset, kliping, bermain musik dan menjadikan menulis dan membaca sastra sebagai sebuah kebutuhan primer.
Puisi ini terpilih sebagai Puisi Bulan Ini Edisi Januari 2008 dengan tema “Rahasia Kesedihan” setelah melalui mekanisme seleksi Editor dan pemilihan langsung oleh pembaca puitika.net
Komentar Dukungan:
abim_id@yahoo.com : Saya memilih puisi ini saja.
qiven_dc@yahoo.com : Puisinya bagus
sibirantulang@gmail.com : Saya yakin puisi yang satu ini mampu memberikan sumbangsih pada kekeringan yang dialami umat manusia, sebab karya sasrta tak hanya tetap berkutat pada dirinya, tapi lebih luas dari pada itu.
black_shakura@yahoo.uk : Woww.. keren ya puisinya.
fred_mandoge@yahoo.co.id : no comment . menurut saya, belum ada yang cocok dengan apa yang saya maksud dengan keindahan suatu puisi. tapi saya memilih supaya dapat hadiah.
Edisi Juli 2006
Kembali Pulang
suatu malam yang gerah
aku menempatkanmu di sisi luka yang merah
tetapi lantas ada kidung di subuh tsani
kupertanyakan pada matahari
dan sejuk embun di daun
memberiku sajak-sajak mengalun
aku memindahkanmu ke sisi ingatan yang lelah
dan kemarahan yang hilang ke entah
sepanjang apa kita ukur perbedaan?
dan episode-apisode yang lalu lalang
hanyalah menegaskan kebersamaan yang hilang
pulanglah ke rumah kita
dan maafkanlah segenap cerita
yang keliru kita rangkai bersama
Puisi ini terpilih sebagai Puisi Bulan Ini Edisi Juli 2006
dengan tema "Maafkan dan Lupakan" setelah melalui mekanisme pemilihan oleh Editor Puitika.net dan penjurian secara langsung oleh pembaca.
Komentar Dukungan
Redaktur Puitika,
Saya memilih puisi ini karena kesederhanaannya.
Pulang ke rumah adalah kembali ke tempat asal, dimana semua kedamaian bermula.
Abimanyu <abim_id@yahoo.com>
________________________________
Semua, pada hakikatnya memiliki perbedaan.
Dengan maaf semuanya menjadi satu dalam lingkaran keharmonisan.
Memangs eharusnya kita mampu memberi maaf karena kita nantinya pada suatu hari akan khilaf. Jika tidak memulai kapan lagi kita bisa menikmati hati yang damai?
Pramudya <pramudyaa@yahoo.com>
___________________________________
Mungkin tidak semudah itu memaafkan.
Bukankah dengan memaafkan maka kita memberikan kesempatan kedua
Kita semua pernah lalai dan kesempatan kedua memberikan kita hikmah yang mendalam. Pulang kerumah adalah pilihan saya.
Dyah Ayu Paramitha (Dyah_ayp@yahoo.com>
Edisi Juni 2006
SETELAH 61 TAHUN PROKLAMASI KEMERDEKAAN
Ini bukanlah sebuah cerita, buncah api atau bara
atau bunyi senapan sesekali letup di dada.
Ini hanyalah deru,
entah mengapa mengabut di mata
bersama luka senja yang terlanjur luruh
setelah seharian matahari garang menghajar
kepala tua penuh uban
dan jari-jemari keriput
menenteng koyak sepasang sepatu usang
telah torehkan jejak langkah
sepanjang 61 tahun umur republik.
Ini bukanlah rangkaian kisah
serpih duri ataupun setangkup keluh kesah.
Walau teramat bekap,
pada sisa amis darah dan anyir mesiu
serupa goresan runcing bambu
tepat menyayat ke ulu hati.
Ini cuma renta menera umur sendiri
berdiri setengah goyah di depan monumen perjuangan
namun getar itu serasa mati, debar itu serasa mati
larut bersama semua perih, hunjamkan pedih
mencabik ingatan yang tak juga berlalu
dari bekas luka tembak di kaki kiri.
Ini hari masih teramat jauh dari harap
degup yang tiada henti teriakkan bara
yel-yel yang serukan kata MERDEKA!
kini tak sanggup lagi terkata di bibir keriput
nyeri dalam jiwa yang kian merapuh:
“Bagaimana hendak acungkan kepal
bila tangan hanya mampu gemetar
menopang tubuh yang nyaris rubuh?”
Cuma nyalang mata ini yang mungkin masih sanggup bicara
sekalipun rabun membayang setiap kenang
ketika dulu lagi ditatapnya penuh hormat
dalam kilau kagum yang tak akan henti luapkan asa
pada seri wajah Bung Karno yang genggam selembar teks
dan Bung Hatta demikian khidmat berdiri di sebelahnya.
Menggetarkan seluruh roma dan miang di sekujur tubuh
lentik-lentik api yang merah sekejap berdenyar di dalam darah.
Tapi duh, kemana lagi perginya segenap rasa itu?
sergapan hasrat yang dulu menggugah semangat di dalam dada?
Walau kini masih dirasanya damba
buncah harap yang berdetak bersama kibar bendera
Sang Saka Dwi Warna berjaya di puncak langit
bersama alunan lagu Indonesia Raya
serupa iringan orkes yang menyuarakan keabadian.
Hingga tiada terasa air matanya menitik
menahan gejolak yang kian lama kian perih.
:Kemana lagi perginya nilai-nilai
ketika kemerdekaan henti sebagai tugu
dicorat-coret kata-kata busuk dan umpatan menjijikkan.
Kemana lagi perginya hakekat perjuangan
ketika semangat pahlawan henti sekedar sebagai catatan
dalam buku pelajaran sejarah di sekolah.
Sementara gejolak tiada lagi bersisa
selain hiruk-pikuk keramaian permainan kanak-kanak
tiap kali menjelang bulan Agustus.
Segurat makna Kemerdekaan,
apakah sungguh masih bertalu di jantung setiap anak negeri?
sedang harap pun berlalu bersama seluruh sisa kenangan
bekas manusia pejuang, perlahan-lahan dilupakan.
*Titon Rahmawan, Sarjana Teknik Arsitektur lahir di Magetan pada tahun 1969, beberapa karya dapat ditemui di situs Cybersastra.net dan beberapa milis-milis sastra baik dalam bentuk puisi maupun esai. Beberapa karyanya tergabung di dalam antologi bersama “Dian Sastro For President #2 Reloaded” (ON/OFF, AKY 2004) dan “Sastra Pembebasan” (Yayasan Damar Warga, 2004). Pernah memenangkan Puisi Bulan Ini Puitika.net Edisi Maret 2006. saat ini masih bekerja sebagai karyawan sebuah perusahaan property di Jakarta.
Puisi ini terpilih sebagai Puisi Bulan Ini Edisi Juni 2006
dengan tema "Kemerdekaan Kita, Kemerdekaan Sesungguhnya" setelah melalui mekanisme pemilihan oleh Editor Puitika.net dan penjurian secara langsung oleh pembaca.
Komentar Dukungan
Dear puitika,
Kerumitan tema rupa-rupanya tak menghalangi penyair ini untuk menuangkan
gagasannya dengan cara yang sangat apik. Ia tidak saja bercerita, ia mengajak kita
pada sebuah refleksi sepintas perjalanan sejarah negeri ini. Betapa banyak jejak
yang masih tertinggal yang ironisnya justru kita lupakan begitu saja.
Fanny TA. <theoraagatha@yahoo.com>
_____________________________________
Kekuatan utama sajak adalah di dalam caranya menyampaikan ironi dan mengolah imaji
menjadi sesuatu yang patut untuk direnungkan. Sajak ini tidak saja secara lugas
menampilkan sisi lain dari realitas bangsa ini namun dengan gaya menggugat yang
halus ia tampil menohok. Sudah saatnya bangsa ini lebih menghargai mereka-mereka
yang terasingkan itu. Para pejuang yang diam-diam kita lupakan.
Saiful saja – Surakarta <saiful.saja@yahoo.co.id>
______________________________________________
Esensi puisi pada dasarnya untuk menyampaikan rasa yang paling dalam dari
penyairnya. Apa yang lahir dari hati sang penyair adalah pencerminan dari rasa puisi
itu sendiri. Disini terlihat kedalaman seorang penyair dalam mengolah rasa batinnya,
kepekaannya dan sekaligus kepeduliaannya pada potret realitas yang berada di luar
dirinya. Puisi ini secara utuh mencerminkan hal itu dan sebagai sebuah rasa yang
dalam ia telah berhasil menyuarakan kegelisahan jiwa sang penyair.
rugard_exo <rugard_exo@yahoo.co.id>
_____________________________________
Halo Puitika,
Saya suka sekali dengan sajak yang satu ini. Entah mengapa sajak ini terasa
merasuk di hati saya, saya merasa trenyuh dengan nasib laki-laki tua itu.
Penyairnya pinter menangkap wacana. walau mungkin hanya dalam puisi tapi puisi ini
mampu berbicara banyak.
Ratna Lestari <ratna.lestari@yahoo.co.id>
_______________________________________
menarik sekali membaca penafsiran angkatan ini mengenai makna kemerdekaan, dan walau
tidak sepenuhnya memperlihatkan ‘nada’ keoptimisan barangkali justru hal tersebut
menjadi cermin bahwa makna kemerdekaan sepertinya telah banyak mengalami pergeseran
dan perubahan tafsir. Sebagaimana yang terlihat di dalam sajak ini, yang saya pikir
secara jujur menyuarakan kata hatinya. Tapi jangan putus harapan kawan, teruslah
berjuang.
Salam,
"ludi riwanto" <ludi.riwanto@yahoo.com>
_______________________________________
Saya kira puisi ini adalah yang paling bagus dalam menjabarkan tema yang diberikan
oleh pihak penyelenggara, nggak berbelit, makna yang disampaikan juga jelas. Menurut
saya oke banget.
Desta <putra.surya@yahoo.co.id>
________________________________
Sajak ini saya anggap berhasil menyiasati tema dan menggabungkannya dengan cara
bertutur puisi yang puitis, ia tidak saja menyentuh namun ia bahkan sanggup
berbicara banyak. Perenungan yang disampaikannya menyeret kita untuk lebih dalam
lagi menafsirkan makna kemerdekaan yang sesungguhnya.
Salam dari Bram
"brametya yudhistira" <adekmu_bram@yahoo.co.id>
______________________________________
Rekoleksi pengalaman kita atas makna kemerdekaan memang beragam namun untuk
menuangkannya dalam sebuah puisi jelas bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Dan
sajak ini dengan lugas telah berhasil menjawab tantangan tersebut.
Tinung Nuarista Sella Nugraha <arman.kelana@yahoo.com>
________________________________________
Ini baru sajak yang unik dan sekaligus menarik, gamblang dan tanpa bahasa yang
muluk-muluk. saya yang nggak seberapa ngerti puisi juga dapat menangkap maksudnya
dengan cukup jelas, tapi nggak kehilangan bahasa puitisnya. bravo.
Agustinus Susanto <s.agustinus@yahoo.co.id>
______________________________________________
Dari 7 judul Nominasi yang dihasilkan oleh Panitya Sayembara, pilihanku sangat
mantap untuk mendukung Puisi yang berjudul
SETELAH 61 TAHUN PROKLAMASI KEMERDEKAAN.
Aku memiliki alasan yang sangat kuat untuk menjagokan puisi ini, yakni karena
Puisi ini telah menemukan dan mencoba mengangkat nilai nilai yang hilang tak
terwariskan dari generasi para pejuang perintis kemerdekaan kepada generasi
penerusnya saat ini Yaitu Semangat Berkorban demi Nusa Bangsa.
Semangat rela berkorban yang menjadi jiwa dan semangat perjuangan ketika itu
misalnya saja ,semboyan MERDEKA ATAU MATI, kini lenyap tak berbekas lagi
dikalangan kita semua.,dan telah berganti dengan tabiat individulaistis tak
perduli kepada orang lain, malahan telah menjelma suatu sikap yang kuat untukl
menghalalkan segara cara untuk merampok kepentingan bangsa dan negara demi
kepentingan pribadi.
Suatu keadaan yang sangat bertolak belakang dan sangat mengkhawatirkan
Puisi inipun akan menyadarkan kita betapa bangsa ini telah mengkhianati nilai
nilai suci yang tertanam pada jiwa para pejuang kita lebih dari itu kitapun kini
sama sekali tak perduli kepada tua renta eks pejuang kemerdekaan Republik ini,
yang kini hidup sengsara, terlunta lunta, dililit kemiskinan dan ketidak adilan
dari bangsa yang dahulu diperjuangkan kemerdekaannya dengan taruhan nyawanya.
Siapa yang peduli kepada Bapak Paijo veteran Perang Kemerdekaan yang gagah berani
saat itu, namun kini tinggal di Jambi dalam sebuah rumah seukuran 3 kali 5 meter
,yang sedang sakit sakitan ?
Atau kepada Bapak Husein Pon eks kopral T K R yang bicaranya sudah pelo hidup
miskin, sangat miskin sampai sampai makanpun sulit dalam kerentaan umurnya yang 80
tahunan itu…?
Sungguh aku khawatir jangan jangan kita ini sedang dihukum Tuhan dengan berbagai
bencana,atas kelalaian kita menghargai jasa jasa para pahlawan negeri ini…bukan
hanya lalai tapi berkhianat
Kerisauanku terobati dengan masih adanya penyair kita yang menyadari dan mencoba
mengangkatnya dalam karya puisinya yang berjudul seperti diatas.
Aku dukung puisi ini untuk dipilih menjadi Juara Sayembara Puisi kali ini., karena
memang PANTAS..
Mungkin kegembiraanku ini akan bertambah besar jika penulis puisi ini adalah
generasi muda dibawahku.
Wasallam
Putra Nusantara
<cephi2002@yahoo.com>
_________________________
Edisi Mei 2006
SEPASANG MAUT
kami dikejar kejar bayangan laut yang menyimpan maut
setiap sudut ruang dan kegelapan
menyisakan takut dan rasa kalut
di mana peristirahatan paling nyaman
jika kamar begitu menakutkan?
kami yang suatu pagi dibangunkan gemetar bumi
tak hendak menjadi saksi
karena inci demi inci tubuh kami mulai mati
oleh haru dan rasa nyeri
waktu beringsut
menyeret kami pada putaran yang itu-itu juga
;bau mayat dan barisan panjang pusara
begitu saja kami dijegal. mimpi kami dicekal, dan rencana-rencana
menjadi batal. tak ada yang berniat menggali kubur,
tak ada yang berkehendak mengambil cangkul
kami hanya digayuti rasa lelah dan capek menyaksikan
banyak peristiwa penting dan tak penting lainya
menumpuk, membukit, tumbuh serupa cerobong
mengalirkan larva dan pijar api
begitu-begitu saja.
sebagian meminum obat tidur
sepasang pengantin lelap oleh haru-biru
subuh begitu bening
penuh dengan rencana dan harapan
pagi semestinya suka cita
yang riang. dimana matahari membuncahkan berkah;
kami bekerja dan anak-anak sekolah
ini pagi lain yang tak kami temukan dalam mimpi sekalipun
bahkan sekedar ingatan pun betapa enggan
ia datang tanpa mengetuk pintu
menggantungkan kematian di tiap dinding
sejak kini, rumah menjelma hantu
kamar serupa maut yang mengintai siapa saja
tempat yang paling aman sekalipun
menyimpan kesumat dan bara dendam
oh, sepasang pagi yang menjelma sepasang maut
mengintai kami dan penjuru kota
kami dikejar kejar bayangan laut
yang menyimpan maut
setiap sudut ruang dan kegelapan
menyisakan takut dan rasa kalut
*
Indrian Koto, lahir 19 Februari 1983 di Kenagarian Taratak, sebuah perkampungan kecil di Pesisir bagian Selatan Sumatera Barat. Menyukai sastra dan saat ini tengah bergiat mendalaminya. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa jurusan Sosiologi pada Fakultas Ilmu Sosial & Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tengah berjuang melawan malas dan ego di Komunitas Rumahlebah Yogyakarta. Bersama kawan-kawan mendirikan sebuah Forum Kajian Diskusi dan Analisis yang disingkat dengan Fodka yang serius mengkaji sosial-budaya serta aktif di Sanggar Jepit Jogjakarta. Sempat pula belajar bersama di Balai Anak Pinggiran (BAP) dan Paguyuban Wartawan Cilik. Belajar bersama kawan-kawan penulis muda lainya di Wisma Poetika. Beberapa tulisannya pernah dimuat di beberapa media, diantaranya; Koran Tempo, Kedaulatan rakyat, Bernas, wawasan, Solo Pos, Minggu Pagi, Lampung Post, Riau Post, Padang Ekspres, Cempaka dan lainnya. Puisinya juga termuat dalam antologi bersama; Nubuat Labirin Luka (2005).
Komentar Dukungan
Dasyaaaat, aku suka. Dia benar, kematian selalu datang tiba-tiba. dan aku setuju
itu.tanpa persiapan apa-apa dia telah menelan kita begitu saja. selamat. siapa pun
kau, aku suka puisimu…..
"Rian tanjung" <rian_tanjuang@yahoo.co.id>
_______________________________________
Begitulah. aku langsung menyukainya. tak ada apa-apa lagi yang bisa kukatakan selain itu.
"buyung padang" <rang_padang@yahoo.co.id>
_______________________________________
Saya suka puisi yang berjudul "Sepasang Maut".
Tiba-tiba perasaan saya tersintak dan teringat kembali
akan bencana-bencana yang menimpa bangsa Indonesia
akhir-akhir ini. Terutama di Jogja. Latarnya khas
sekali. Dengan nada yang berirama, puisi yang tadinya
membuat merinding (sebab isinya banyak mengumbar
kematian) menjadi enak dibaca.
"iggoy elfitra" <iggoy_elfitra@yahoo.com>
_______________________________________
dahsyat sekali puisi sepasang maut. entah siapa yang mencipta.
tapi membaca dengan kedalaman hati saya, saya mengira penulisnya bukan
sembaranganan. keharmonisan bahasa, estetika, dan rasa yang dipadukan adalah
sebuah kombinasi yang luar biasa. saya merasa di telanjangi dan giris. Ihhh.
aduhai, puisi sebagus itu sayang kalau tidak menang….
salam kenal untuk penulisnya
Jusuf AN
"jusuf amien" <jusufamien@yahoo.com>
________________________________________
Aku suka puisi ini. Tentang peristiwa harian kita, dimana kematian begitu akrab
(meniru Subagio S) dan itulah yang terlontar di bait puisi ini. ketakutan akan
sebuah waktu, dimana ia menjadi begitu kejam. satir dan pahit. tapi bagaimana pun
hidup terus dijalani. tak ada pilihan lain. begitulah waktu…
"sang hina" <pecintamalang@yahoo.com>
________________________________________
Sepasang maut, saya suka puisi ini. bukan berarti yang lain gak keren juga lo…
tapi dia nempel banget. bagiku puisi ini semacam peringatan dan ancaman. jadi susah bobok neh… he..he..
"yanti manis" <yanti_manis22@yahoo.co.id>
_______________________________________
Edisi April 2006
Kanak-Kanak Di Hati Kita
Adakah pernah terlintas dalam benakmu
untuk membuat sebuah percakapan dengan anak-anak,
tentang apa yang mereka inginkan;
membuat perahu dari sebilah bambu
untuk kemudian dilayarkan ke laut lepas
atau merangkai sebuah layang-layang dari kertas
untuk kemudian diterbangkan ke langit luas?
Karena anak-anak bukan sekedar milik sang ibu,
bukan pula sekedar milik sang ayah,
mereka terlebih adalah milik diri mereka sendiri.
Gemerlap cahaya berwarna-warni
yang memenuhi taman di hati kita
yang melambungkan harapan di benak kita.
Karena bagi mereka hanya ada satu keceriaan
yang tak lain adalah surga, gemericik mata air
yang tiada henti menguyurkan kesegaran,
kepolosan salju yang putih metah
memenuhi lanskap di dalam penglihatan kita.
Mereka adalah detak yang berpacu
di dalam jantung, deru di dada kita
karena mereka adalah anak panah
yang terentang kencang di dalam busur sang waktu.
untuk memahami dunia mereka,
bukan apa yang menjadi kehendakmu
melainkan apa yang mereka inginkan.
Tak henti merengkuh bayang-bayang mengejar layang-layang
tak henti menghela waktu memburu laju perahu
Bahwa permainan layang-layang
bukan sekedar mengulur kegembiraan
melainkan juga harapan,
bahwa mengayuh laju perahu
bukan sekedar melayarkan canda tawa
melainkan juga menera angan untuk meraih cita-cita.
Dan di dalam perih liku-liku segenap perjalanan itu
jiwa kita melebur dengan segala keluh-kesahnya
mengukir langit melukis cakrawala
menjelma cita melabuhkan harapan
dalam semesta cinta di hati kanak-kanak.
Mei 2006
Puisi ini terpilih sebagai Puisi Bulan Ini Edisi April 2006
dengan tema "Anak-anak kita, Anak Indonesia" setelah melalui mekanisme pemilihan oleh Editor Puitika.net dan penjurian secara langsung oleh pembaca.
Komentar Dukungan
Salut buat puitika,
sajak-sajak yang masuk kali ini betul-betul bagus dan pastilah membingungkan untuk
memberikan penilaian yang obyektif. Saya pikir hampir ke-sepuluh sajak ini layak
untuk menerima penghargaan kita. Keragaman cara pengungkapan dan kualitas
puitiknya juga sangat bagus, namun saya pikir harus ada yang menjadi favorit dan
inilah pilihan saya. Bukan karena apa-apa, karena saya lihat hanya sajak ini yang
masih memberikan harapan dimana sajak-sajak lain cenderung muram dan pesimis. Saya
berharap sajak serupa inilah yang akan menjadi wajah anak-anak kita saat ini dan
dimasa mendatang.
sekali lagi salut buat Puitika atas segala kiprahnya selama ini
salam
Rugard
"rugard exo" <rugard_exo@yahoo.co.id>
____________________________________
puisi anak yang sangat bermakna, dengan diksi sederhana menghadirkan sebuah cerita
bahwa anak-anak adalah masa yang paling indah dan tiada seorangpun yang dapat
menghalangi kebahagiaan masa kanak-kanak, tidak juga orang tua. saya sangat tertarik
dengan ide penceritaan yang di hadirkan penulis, dia membuat pembaca mencoba untuk
berpikir tentang siapa sebenarnya anak-anak itu, karena anak-anak bukanlah objek
untuk ‘pemuas’ sesaat, dalam artian, anak-anak bukanlah sesuatu yang harus di
proteksi secara berlebihan, tetapi berilah ia kebebasan dengan mengawasinya, karena
masa kanak-kanak banyak dengan ide-ide lucu yang mampu membuat orang dewasa sedikit
tergugah.
"Syaiful Bahri" <bang_epul@yahoo.com>
________________________________
Sebuah gaya pengimajian yang sedikit naif, jujur namun justru sangat menyentuh dan
secara implisit juga menggugat keberadaan para orangtua, saya kira demikianlah
potret kanak-kanak dalam realitas yang sesungguhnya. Dan secara universal mampu
mewakili dunia anak-anak itu sendiri.
Selamat dan buat Puitika maju terus
salam
DA.
"Diah Ajeng" <diah.ajeng@yahoo.com>
__________________________________
Menjadi anak-anak adalah fase yang dilalui seorang manusia. Kita sebagai orang dewasa selalu saja lupa bagaimana kita dulu menghabiskan waktu masa kecil dan selalu merasa benar bahwa apa yang kita inginkan pada anak-anak bisa jadi yang terbaik bagi mereka. Kita selalu lupa bahwa jiwa anak-anak selalu lepas dan tidak terkekang tidak layaknya kita yang telah ditimbuni ideologi dan opini. Ah kita selalu saja lupa …
Abimanyu (Abim_Id@yahoo.com)
______________________________
Aku pilih puisi ini karena puisi ini yang memberikan kesaksian yang arif bagi orangtua untuk memahami anak sebagai panah yang lepas dari sebuah busur. Kemana mereka menuju hanya mereka sendiri yang tahu.
Cahyo Duo Nenda (j3rry24@yahoo.com)
__________________________________
Puisinya bagus. Kendali kata dan imajinasi yang indah. Anak-anak adalah dongeng dalam dunia nyata. Sebuah dunia yang menyimpan seribu cerita dan harapan.
Diah Ayu Paramitha (diah_ayp@yahoo.com)
____________________________________________
Tentunya ini puisi yang layak untuk disampaikan melalui puitika. Hari anak yang semakin dekat dan pada kenyataannya anak-anak Indonesia saat ini tidaklah semuanya anak-anak jalanan dan yang terluka. Rumah yang nyaman belum tentu aman dari infiltrasi Orangtua yang patut dicurigai menanamkan impiannya kedalam tubuh anak-anak yang tak mampu berbuat apa-apa. Hanya orangtua yang tanggap dan meyakini sepenuhnya jatidiri kedewasaan akan menemukan jalan yang terbaik untuk mendidik anak-anaknya
Rio Ardian (deep_rio@yahoo.com)
_____________________________
Tema universal yang pelik untuk dijabarkan. Semua penulis adalah orang dewasa yang mencoba menyelami psikologis dan realita anak saat ini. Sayangnya tidak ada anak-anak (beneran) yang mengirimkan puisinya sehingga kita hanya dicekcoki pemahaman kita sendiri. Meskipun demikian saya memilih puisi ini karena aliran kata yang lembut dan setidaknya membuat saya melepas penat dan memejamkan mata , membayangkan angin yang menerbangkan layang-layang masa kecil dahulu.
Yuki syahrizal (yukabi9@yahoo.com)
________________________________
kata-kata yang manis dan tidak menggurui
Abimanyu (Abim_id@yahoo.com)
____________________________
Anak-anak perlu dilindungi dan orangtua adalah tameng pertama untuk itu. Salut untuk penulisnya.
Pramudya (pramudyaa@yahoo.com)
_______________________________
Edisi Maret 2006
Hanya Sebuah Refleksi Sejarah
Adakah telah kau tafsir sejarah sejak bertahun silam? Sunyi yang menyusun dirinya dari gema lonceng gereja, suara bedug Masjid, tajam perih kerikil, bulu-bulu yang gugur dari sayap burung gagak dan bau sampah yang membusuk? Siapakah manusia yang masih sanggup mengingat warna kelabu dari wajah sejarah negerinya yang tercabik? Selain pantulan kaca retak yang menempel di pintu-pintu hati rakyat, gerbang istana presiden yang masih megah berdiri, batu-batu berlumut di gedung perwakilan rakyat, serta darah merah yang mengalir dari sebutir peluru? Rangkaian kisah reformasi, masih serupa rahasia. Sebab sejarah telah lama menutup dirinya di dalam kepalan tangan dan sebatang palu besi. Siapa sesungguhnya manusia yang mampu mengurai kebekuannya?
*
Titon Rahmawan, Sarjana Teknik Arsitektur lahir di Magetan pada tahun 1969, beberapa karya dapat ditemui di situs Cybersastra.net dan beberapa milis-milis sastra baik dalam bentuk puisi maupun esai. Beberapa karyanya tergabung di dalam antologi bersama “Dian Sastro For President #2 Reloaded” (ON/OFF, AKY 2004) dan “Sastra Pembebasan” (Yayasan Damar Warga, 2004) saat ini masih bekerja sebagai karyawan sebuah perusahaan property di Jakarta.
Puisi ini terpilih sebagai Puisi Bulan Ini Edisi Maret 2006
dengan tema "Refleksi Reformasi" setelah melalui mekanisme pemilihan oleh Editor Puitika.net dan penjurian secara langsung oleh pembaca.
Komentar Dukungan
- saya merasakan sajak tersebut dapat mengambil jarak dengan realitas jadi bukan sekedar menggambarkan realitas, soalnya yang lain cenderung apa adanya.
– bisa mewakili tema secara utuh, mengungkapkan seluruh perjalanan refleksi reformasi tanpa harus tampil sebagai pamflet.
-terus pilihan kata-katanya asyik, nggak seperti sedang baca berita di koran yang cenderung protes menggebu-gebu.
-tapi walau begitu saya masih merasakan nuansa dari suasana yang ingin digambarkannya, keterlibatan pengarangnya dan sekaligus apa yang sebenarnya ingin ia sampaikan sebagai wujud kepeduliannya.
-secara keseluruhan yang menjadi nominasi cukup berbobot sayangnya masih ada yang terlalu apa adanya, gitu… nggak kerasa aroma puisinya.
-jadi pilihan saya tetep yang satu ini…
Diah Ajeng <diah.ajeng@yahoo.com>
________________________________
Karena ini hanya sebuah refleksi, maka kuingin nyatakan perih
karena ini hanya sebuah refleksi, maka kuingin berikan pedih
karena ini hanya sebuah refleksi, maka kuantar perih kusampai pedih
karena ini hanya sebuah refleksi, maka sajak ini yang aku pilih
karena ini hanya sebuah refleksi, maka sedikit kutitip harap
semoga refleksi ini dapat memberikan sebuah perubahan.
Theora Agatha" <theoraagatha@yahoo.com>
______________________________________
Memilih sebuah puisi yang baik memang gampang-gampang susah, karena puisi
menurut saya tidak pernah terlepas dari nilai-nilai yang sangat subyektif
sifatnya. JAdi kalau saya memilih puisi ini sebagai puisi pilihan saya,
tentu saja hal ini tidak terlepas dari pilihan saya secara subyektif.
betapapun sebuah puisi mengemban nilai-nilai yang harus estetis dan puitis
tentunya. dan barangkali hal itulah yang menjadi ukuran saya, selain tema
dan bangunan keseluruhan puisi itu yang menurut saya bagus. Jadi, yah
kira-kira begitulah saya menganggap puisi ini mewakili subyektifitas saya.
jadi selamat sekali lagi.
Siu Ling <austpacprd_jakarta@hotmail.com>
_______________________________________
Mengalir, itu saja.
Nanang Musha <kerjakata@yahoo.com>
__________________________________
Puisi kontemplatif ini berhasil menggambarkan
imaji-imaji reformasi secara puitis dan menyajikannya
lewat pengontrasan berbagai metafor dan simbol, baik
yang indah/lembut seperti “gema lonceng gereja,”
“suara bedug masjid,” maupun yang kasar/keras, seperti
“sampah yang membusuk” “peluru” atau “darah.”
Tone atau "nada" puisi ini relatif tenang, tidak
(lagi) murka dan provokatif, melainkan penuh dengan
pemahaman terhadap situasi. Cara ini saya kira efektif
dan konsisten dengan appeal terselubung terhadap
manusia muda. Bagi saya, yang terpenting dalam appeal
reformasi bukanlah lagi "what to say" melainkan "how
to say it". Puisi ini saya kira akan menggugah banyak hati.
“Siapa manusia yang cukup punya nyali, yang berani
mengusik keberadaan mereka, selain dirimu?”
Tjipoetat Quill <tjipoetatquill@yahoo.com>
____________________________________
Tidak cukup kata atas "rahasia" yang masih tersembunyi di balik kisah tragis Mei 98. Kesedihan akan alur bangsa ini , tentang kebenaran sesungguhnya sepertinya tidak akan pernah usai.
Abimanyu <abim_Id@yahoo.com>
_____________________________