RSS You're reading Franchise untuk MLS, Bukan Indonesia (2) article on sekadarblog

&mdash February 1st, 2012 {3}

Franchise untuk MLS, Bukan Indonesia (2)

(lanjutan)

Kelihatan sekali MLS dipersiapkan/dilakukan dengan matang dan penuh perhitungan. Parameternya adalah sebelum mengikuti kompetisi (calon pemilik klub) dan saat sudah berada di dalam kompetisi (pembatasan gaji pemain/salary cap dan sistem draft untuk pemain rookie).

Seolah-olah yang dibuat oleh MLS adalah memperbaiki sistem terbuka (mekanisme pasar) ala Eropa. Walaupun UEFA saat ini punya Financial Fair Play, tetapi MLS sudah sejak awal melakukannya. MLS meminimalisir kekacauan yang mungkin timbul. 

MLS boleh bersyukur karena punya cermin yang cemerlang (UEFA). MLS sadar bahwa AS bukan negara sepakbola walaupun pernah punya kompetisi sepakbola profesional pada era 60-70-80-an dengan Pele dan Franz Beckenbauer di dalamnya.

MLS menjalankan studi kelayakan dengan serius. Padahal mereka berada di negara super power. Studi banding yang serius dan panjang juga pernah dilakukan oleh Japan FA ketika akan memulai J-League.

Lalu, apakah MLS dengan sistem franchise-nya cocok diterapkan di kompetisi Indonesia? Jawaban saya simpel: tidak! Kalau mau meniru sedikit banyak, mungkin sistem dan manajemen kompetisi Jerman lebih pas.

Yang perlu dicermati adalah proses menuju MLS-nya. Kompetisi sepakbola saat ini sudah menjadi industri dan dalam industri dibutuhkan variabel riset. Ada studi kelayakan dan studi banding. Itulah yang perlu dilakukan pengelola kompetisi di sini.

Apakah kompetisi Indonesia — entah Liga Super Indonesia atau Liga Primer Indonesia — pernah melakukan variabel itu? Selama saya mengikuti berita-berita mereka, rasanya tak pernah. Kelihatannya hanya dengan belajar sambil lalu. Mungkin saya salah.

Bila MLS yang berada di negara sebesar AS mensyaratkan kecukupan modal ratusan juta dolar bagi calon pemilik klub, bagaimana mungkin kompetisi di Indonesia — sebagai negara dunia ketiga — tak pernah memerhatikan hal itu. Seperti halnya di MLS, di berbagai kompetisi regional Eropa, klub pun diharuskan membuktikan kemampuan finansial mereka mengikuti liga dengan menyetor uang deposit di awal musim. Ini tidak dilakukan di Indonesia!

Entahlah, apa yang ada di pikiran pengelola liga di Indonesia. Alhasil, krisis keuangan seperti yang dialami oleh Persiba Balikpapan selalu terjadi setiap tahunnya. Ajaibnya, klub-klub itu tetap survive sampai kompetisi usai.

Kompetisi di Indonesia diikuti oleh banyak klub karbitan. Klub yang mengikuti kompetisi tanpa sumber dana yang jelas. Klub yang keikutsertaannya atas dasar kepentingan Pilkada. Bukan atas dasar pembinaan, bukan pula atas azas prestasi.

Terus terang, saya ndak sreg melihat level tertinggi kompetisi di Indonesia diikuti oleh beberapa klub dari kota kecil. Misalnya, PSAP Sigli, PSSB Bireun, Persidafon Dafonsoro dan beberapa yang lain. Saya membayangkan kekuatan sumber dana mereka. Saya menghitung biaya tandang dari ujung Barat Indonesia ke pojok Timur Indonesia dan sebaliknya. Itu baru satu kali pertandingan. Ada berapa pertandingan dalam semusim dan seterusnya.

Bila dana diambil dari APBD, betapa absurd. Kawasan di seluruh pelosok Indonesia masih membutuhkan pembangunan infrastruktur. Puskesmas, rumah sakit, sekolah, dan sebagainya. Itu jauh lebih penting ketimbang hura-hura di sepakbola.

Lho, kompetisi kan boleh diikuti klub dari kota manapun, mas? Tak peduli dari kota besar atau kecil? Iya, tentu saja boleh. Tetapi proses kehadiran mereka harus ditegaskan dulu. Termasuk klub-klub besar tradisional. Selain pembinaan, esensi kompetisi adalah untuk mereka yang mampu. Apa parameter “mampu”? Itulah yang harus ditegaskan. Dihitung. Dipelajari. Dirumuskan.

Boleh saja tim seperti PSAP mengikuti kompetisi, tetapi harus atas dasar organik atau alami. Mereka ikut karena memang mereka benar-benar pantas dan mampu. Memenuhi persyaratan secara teknis atau non teknis yang terukur benar.

Bila pengelola MLS saja merasa perlu menerapakan syarat ketat dan melakukan riset pasar, maka kompetisi di Indonesia juga perlu melakukannya. Demi sistem yang baik dan cocok. Jangan lupakan pula kompetisi regional yang akan berguna bagi banyak klub di Indonesia. Klub bisa belajar mengukur diri. Belajar organik, sekaligus bertekad membuktikan kepantasan mereka agar dapat tampil di jenjang tertinggi.

Requirements come first, clubs will come after that.

(Selesai)

Ϡ

3 Responses to “Franchise untuk MLS, Bukan Indonesia (2)”

  1. spacer jo says:
    February 1, 2012 at 5:47 pm

    Mas Hedi, bagaimana pendapat mas soal rencana PSSI sekarang dengan rencana2nya, misalnya:

    dulu rezim sekarang mau 2 wilayah di tentang klub2 yang di KPSI,

    PSSI mewajibkan setor buat keberlangsungan klub ditolak lagi sama yg

    klub2 di KPSI. .

    jadi pusing nih kudu gimana sepakbola di Indonesia. ..

    Saya kira apa yang mau dibuat PSSI sudah benar, mereka berusaha untuk menerapkan requirements. Ya tegas saja, yg ga mau ditolak. Tegas sejak awal terhadap peraturan adalah penting untuk sepakbola kita – Hedi

  2. spacer andinoeg says:
    February 2, 2012 at 11:07 am

    seharusnya Indonesia bisa mencontoh MLS


    saya yakin kita bisa, masalahnya kita niat atau tidak – Hedi

  3. spacer BelajarNulis says:
    February 2, 2012 at 12:24 pm

    Mas, menurut mas gimana dengan verifikasi klub2 di indonesia, apakah sudah benar? Kalo ya kenapa harus ada Persija 2 tim, meskipun sudah banyak yg tahu kalo klub yg memakai nama Persija di IPL adalah Jakarta FC yg berkompetisi setengah musim di breakaway league musim lalu. Apalagi dengan memberikan promosi gratis tis kepada Persibo, Persema, PSM, Bontang, PSMS dengan alasan yg menurut saya kurang sportif? Ditambah lagi Persipura yg tdk bs berkompetisi di LCA krn federasi kita juga(Puji Tuhan Persipura menang di CAS). Lalu kesemena menaan pssi dengan merusak ISL (yg saya kira sudah benar namun perlu diperbaiki, misal: stop apbd, dijadikan alat politik, wasit, rusuh dll). Kalo memang mereka mengaku profesional, revolusioner, dll seperti jargon mereka dl, seharusnya tdk begitu. Merusak tatanan, keputusan yg diambil sll sepihak. Terbukti kan, IPL yg mereka gembar gemborkan itu sepi penonton, dan org2 IPL tsb sibuk ngurusin ISL yg sekarang breakaway(perbedaannya dng breakaway musim lalu tetep sama dng skrg: jumlah penonton). Apa iya IPL bagus? Mungkin sedikit yg tahu kalo ad penonton di mattoangin pd pertandingan PSM vs Semen Padang, ada penonton yg masuk ke lapangan. Belum lg soal Diego Michiels, soal Sriwijaya FC yg coba dipecah oleh slh satu pengurus SFC yg katanya ada bisnis dengan AP, begitu profesional? Sangat terlihat kalo sepakbola kita ini rebut dan ribut antara Panigoro(IPL) dan Bakrie(ISL). Nurdin adalah corong Bakrie dan Djohar adalah corong Panigoro. Saya rasa mengapa klub2 anggota resmi federasi kita lebih memilih berkompetisi di breakaway league(ISL) sekarang krn pssi benar2 ud kelewat gak benarnya.. Kasian pemain, pelatih, suporter, dan semua org yg ingin timnas kita angkat piala.. Terima kasih =)

    Jawaban saya dari sejumlah pertanyaan sampeyan cuma satu: semua hanya politis. Kenapa ada 2 Persija dan seterusnya, karena memang dibuat begitu oleh pihak yg bertikai. Memberi promosi gratis adalah kebodohan yang tak perlu. Persipura menang CAS, saya belum percaya. Bahkan saya juga ga percaya kalau mereka memasukkan berkas ke sana. Sepakbola kita sengaja dirusak kok, oleh semua pihak di atas sana. Malangnya, ga ada urusannya dengan sepakbola. Semoga saya salah. – Hedi

Leave a Reply

Click here to cancel reply.

gipoco.com is neither affiliated with the authors of this page nor responsible for its contents. This is a safe-cache copy of the original web site.