Kabar Mentari #3 – 4 Mei 2010

Posted on by admin
Reply

Untuk beberapa saat, diantara selingan saya tidak PERNAH menulis, saya akan memposting ulang tulisan-tulisan ringan nan menggigit dari seorang teman pengajar di Rumah Mentari, Bandung. Cerita yang dituliskan Arfah -nama pengajar itu, kadang membuat saya malu sendiri, karena tidak seberapa banyak sumbangsih saya pada komunitas yang dulu sempat saya geluti itu.

Sambil menunggu website Rumah Mentari jadi, semoga ini menjadi hiburan dan motivasi buat rekan-rekan saya di komunitas maya lain yang saya ramaikan. Bukankah blog juga adalah ruang untuk menyambung lingkaran-lingkaran komunitas yang tersebar itu? Continue reading

Posted in Uncategorized | Leave a reply

Menang Sebelum Start

Posted on by admin
3

spacer

Sore gerimis, saya hendak mengisi pulsa di sebuah konter pulsa di pinggiran Yogyakarta. Motor saya berhentikan, dan mata saya langsung sibuk melihat daftar harga pulsa di dinding konter itu. Beberapa detik kemudian saya sebutkan pulsa yang ingin saya beli sambil memalingkan wajah ke si penjual. Rupanya si mas penjual pun sedang sibuk sendiri, memperhatikan televisi yang menyiarkan laporan langsung berita dari Kongres Partai Demokrat di Bandung.

Gelagapan si Mas penjual menjawab permintaan saya “eh, 11 ribu, Mas”. Continue reading

Posted in Uncategorized | 3 Replies

Kabar Mentari #2 – 29 April 2010

Posted on by admin
Reply

Untuk beberapa saat, diantara selingan saya tidak PERNAH menulis, saya akan memposting ulang tulisan-tulisan ringan nan menggigit dari seorang teman pengajar di Rumah Mentari, Bandung. Cerita yang dituliskan Arfah -nama pengajar itu, kadang membuat saya malu sendiri, karena tidak seberapa banyak sumbangsih saya pada komunitas yang dulu sempat saya geluti itu.

Sambil menunggu website Rumah Mentari jadi, semoga ini menjadi hiburan dan motivasi buat rekan-rekan saya di komunitas maya lain yang saya ramaikan. Bukankah blog juga adalah ruang untuk menyambung lingkaran-lingkaran komunitas yang tersebar itu? Continue reading

Posted in Uncategorized | Leave a reply

Kabar Mentari #1 – 24 April 2010

Posted on by admin
Reply

Untuk beberapa saat, diantara selingan saya tidak PERNAH menulis, saya akan memposting ulang tulisan-tulisan ringan nan menggigit dari seorang teman pengajar di Rumah Mentari, Bandung. Cerita yang dituliskan Arfah -nama pengajar itu, kadang membuat saya malu sendiri, karena tidak seberapa banyak sumbangsih saya pada komunitas yang dulu sempat saya geluti itu.

Sambil menunggu website Rumah Mentari jadi, semoga ini menjadi hiburan dan motivasi buat rekan-rekan saya di komunitas maya lain yang saya ramaikan. Bukankah blog juga adalah ruang untuk menyambung lingkaran-lingkaran komunitas yang tersebar itu? Continue reading

Posted in Uncategorized | Leave a reply

Jendela-Jendela

Posted on by admin
7

spacer Ada yang bilang bahwa hidup dimulai dari langkah pertama manusia di muka bumi. Karena itulah ada budaya di negeri ini dimana seorang bayi akan dilehat untuk menjejakkan kakinya di tanah. Sebuah ritual yang saya temui baik itu di daerah asal Aceh sana, juga di pulau Jawa ini. Mungkin cuma sebuah ritual saja. Bentuk kebahagian karena sang bayi hadir meramaikan keluarga besar. Continue reading

Posted in Coretan | 7 Replies

Kelamin Sosial Media

Posted on by admin
4

Social media. Wah, saya capek juga bicara perihal satu ini. Kenapa? Apa karena  terlalu banyak membacanya? Atau karena terlalu sering menjadi pengamat saja? Ah, Sama saja. Ternyata saya tidak berkembang kalau cuma begitu-begitu saja. Toh, sampai sekarang saya tidak bisa mengalahkan adik saya dalam kualitas penggunaan Facebook, atau temen cantik saya dalam hal banyaknya berbalas Twitter. Continue reading

Posted in Media, Opini | 4 Replies

Dua Tahun

Posted on by admin
4

Cukup lama waktu 2 tahun itu. Silahkan anda menghitung dari seberapa lama anda mandi, seberapa lama anda butuh waktu untuk makan, ngopi, menonton satu episode sinetron, atau sekedar merokok sebatang. Dua tahun ternyata satuan waktu yang relatif lama dibanding aktifitas rutin anda. Akan terasa lebih lama lagi kalau sekarang anda sedang membaca pengumuman yang mengatakan remunerasi anda baru dinaikkan 2 tahun lagi. Atau, sekarang anda menapat jawaban dari pasangan “Dek, tunggu abang 2 tahun lagi ya. I’ll be back.” Terasa lama da mengenaskan.

Tapi dua tahun bisa dirasa sangat singkat pula. Anda boleh merasakannya sekarang juga. Coba bayangkan saja 2 tahun lalu anda sedang apa? Sedang memegang bertumpuk-tumpuk buku kuliah mungkin, atau sedang bernyanyi riang bersama teman di bawah malam, atau sedang menyaksikan Final Champion MU versus Chelsea?  Dua tahun lalu yang saya ingat ketika sedang menonton pertandingan final Piala Champion di salah satu televisi warnet di pojok komplek. Lucunya kemarin saya baru menyadari ketika MU dan Chelsea bertanding lagi -walau saya tidak sempat menonton live di TV, saya sempat singgah membeli rokok di warung  sebelah warnet itu lagi. Dan saat itulah saya merasakan 2 tahun itu ternyata singkat sekali. Hanya seukuran seberapa lama jarak saya berjalan kaki dari kontrakan menuju warnet itu.

Beberapa hari yang lalu seorang teman lama menghampiri saya via Messenger. Ngobrol, bercanda dan pastinya membahas hal tidak penting. Bicara seputar kabar si anu dan si una, pacar-pacar mereka, atau pacar-pacar kita. Dan kemudian dia melempar pertanyaan yang sama dengan tulisan ini.

“Perasaan baru dua tahun lalu gue ketemu lu di Jogja.” tulisan terkirim di messenger saya.

Pernyataan yang tidak penting buat saya. Karena toh, baru 2 bulan lalu saya bertemu dia di Bandung. Lalu apa pula maksudnya bicara dua tahun lalu bertemu di Jogja?

Halah, lu juga sempat ketemu gue setahun lalu di Jogja. Belum juga 2 bulan kita ketemu di Bandung. Kenapa musti mundur jauh bicara seolah melankolia banget, terakhir kali di Jogja bertemu 2 tahun lalu?” jawab saya.

Bukan apa-apa. Ini memang sebuah kebiasaan manusia. Kita lebih suka mengasosiasikan melankolia dengan jauhnya jarak dan lamanya waktu. Saya memilih kata melankolia untuk teman saya itu, karena kata “lebay” justru akan merendahkan dia sebagai lelaki dewasa.

“Hahaha. Lebay ya gw.” kata nya kembali.

Dan ternyata teman saya ini memilih merendahkan dirinya sendiri.

Persoalan lama tidaknya dua tahun memang bisa sangat merepotkan. Misal, pacar anda bicara, “Mana? Janjinya mau ngawinin aku. Itu janji kamu 2 tahun lalu!” Merepotkan. Bukan soal menjawabnya, yang saya yakin gampang keluar dari mulut anda, “Iya. Iya. Aku ini justru sedang berusaha supaya itu segera terwujud, sayang.” See? Gampangkan? Tetapi ini memang bukan persoalan jawabanya. Tapi ini soal seperti apa lamanya 2 tahun itu bagi anda atau pasangan anda.Dia melihat ke belakang sudah lama 2 tahun menunggu kapan akan dilamar. Sedangkan anda melihat 2 tahun itu “cepet juga ya”,  dan anda membutuhkan injury time lagi.

Itu jika kita bicara 2 tahun sebagai lama atau tidaknya dalam ukuran waktu.

Sekarang coba tanyakan ke sepasang kakek nenek, apa artinya 2 tahun bagi mereka. Saya yakin, jika anda bertanya “Kek, Nek, apa arti 2 tahun bagi kakek dan nenek?”. Menurut pertimbangan saya, kemungkinan respon yang anda dapat ada dua. Pertama, mereka akan tersenyum, memutarbalik memori mereka ke masa-masa 2 tahun lalu, 12 tahun lalu, bahkan bisa jauh ketika mereka berumur 20 tahun.

Kedua, mereka bisa mengernyitkan dahi, kaget. Seolah-olah anda sedang bertanya kapan mereka akan mati. Lebih parah lagi jika mereka berpikir, “Cucu sialan! Belum apa-apa sudah minta warisan?”

Makna 2 tahun bisa berbeda-beda bagi setiap orang. Jika sudah bicara makna dan memaknai, saya juga bisa bilang, 2 menit pun bisa berbeda bagi tiap-tiap orang. Karena ukurannya bukan soal lama atau sebentar. Dua tahun atau 20 puluh tahun. Cukup rumit memang mengakui persoalan makna, karena urusannya menjadi sangat “sederhana” jika sudah ditambahi kata “makna”. Coba saja anda menjawab,

“Dua tahun ini anda sudah ngapain aja ?”

Sepersekian detik waktu dan energi otak anda harus mengingat dan berpikir sebuah pertanyaan sederhana ini.

Itulah kenapa sejarah manusia mencatat sejak era Da Vinci sudah mengkhayalkan adanya mesin waktu. Dan lagi-lagi ini aneh, ketika kita merasa 2 tahun itu cukup lama atau singkat untuk dilalui, kita malah berharap adanya mesin waktu yang justru menambah atau mengurangi tahun-tahun kita.

Saya jadi ingat kutipan terakhir dalam surat curhat Gie, “Berbahagialah mereka yang mati muda”. Pikiran saya pun terbayang, apa alasan Gie mengatakan bahagia jika mati muda? Jangan-jangan surat itu cuma anekdot dia saja, karena merasa 2 tahun terlalu lama untuk berjuang. Atau kebalikannya, 2 tahun terlalu singkat untuk berjuang, jadi ya mending mati saja. Sebuah pernyataan bernilai “nihil”, dan Nietzsche yang memperkenalkan kutipan ini pun tidak memilih mati muda.

Dua kemungkinan jawaban diatas bisa menjadi benar rupanya. Tapi syukurlah Gie tidak sempat membuktikan benar salahnya curhat tersebut. Begitu pun saya, tidak berpikir untuk memilih mati muda walau kutipan ini saya pakai berkali-kali. Misal saja Gie menulis, “Bersyukurlah saya jika mati 2 tahun lagi”, mungkin dia juga tidak akan jadi pahlawan seperti sekarang.

Posted in Coretan | 4 Replies

Ibu Guru Cantik

Posted on by admin
8

spacer

Entah sejak kapan saya percaya bahwa ilmu itu cuma ada 3. Berbeda dari om Wonggantenk dengan artikel beliau Politik Pendidikan: “Kemampuan bahasa” first, the rest are commentary, yang memilih 3 juga, -Bahasa Indonesia, Matematika dan Bahasa Inggris, maka bagi saya Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris masuk di dalam Ilmu bahasa, dan cukup ditambahkan satu lagi yaitu Sejarah. Alasannya karena dengan Bahasa seorang manusia bisa belajar menyampaikan maksud dan mengerti sebuah maksud. Dengan Matematika seorang manusia bisa mempertanggungjawabkan maksud-maksud mereka. Dan dengan sejarah, seseorang bisa belajar menghargai maksud orang lain, pendahulu mereka juga sekaligus diri mereka sendiri dengan mewariskan maksud-maksud mereka pada generasi berikutnya.

Paragraph diatas adalah sebuah pengantar saja. Namun rekan-rekan disini tentu sudah mengerti maksud saya pastinya. Tiga ilmu besar diatas adalah arti kata lain dari nilai pendidikan bagi manusia. Itu berarti bagi adik-adik saya, bagi anak-anak kita, anak-anak Indonesia. Jadi sangatlah heran apabila pemerintah ini masih berkeras dengan pelaksanaan Ujian Nasional yang tidak memenuhi “prinsip 3″ diatas.

Bagaimana pendapat para pelaku pendidikan sendiri, para guru? Mungkin sebagian memilih manut, karena mengajar bagi mereka adalah satu-satunya cara mendapat tunjangan kesehatan, biaya untuk dapur, atau mempermudah urusan kredit rumah sangat sederhana mereka. Tapi saya percaya mereka lebih mengerti persoalan mendasarnya tentang UN ini ketimbang saya sendiri.

Dulu, saya sempat bercerita pertemuan saya dengan Ibu Guru Cantik ketika mewakili teman-teman saya mengurus perwalian adik asuh kami. Dan kebetulan, beberapa hari lalu, teman saya yang lain, kembali menjadi wali untuk urusan yang cukup pelik sebenarnya. Urusan biaya UN. Berikut saya copas tulisan dari rekan saya itu.

Catatan : Teman saya, dan saya berhak untuk merahasiakan nama dan dari sekolah mana si Ibu Guru Cantik ini. Sebelum teman saya menulis cerita ini di Facebooknya, dia sudah terlebih dahulu curhat soal ini. Bukan barang baru memang, tapi bagi dia, cukup membuat shock dan memaki-maki seharian.

—–

Balada Ujian Nasional Kitaa…

04 Maret 2010 jam 13:07

Pertengahan Februari lalu, saya dikejutkan oleh sebuah surat pemberitahuan dari SMA adik-adik asuh saya. Surat pemberitahuan tersebut mengumumkan jadwal Ujian Nasional, Ujian Akhir Sekolah dan Ujian Praktek mereka mulai 22 Maret-14 April 2010. Pihak sekolah mecantumkan biaya keseluruhan ujian sebesar Rp 300.000/siswa. Wew!Mahal juga, pikir saya saat itu.

Seingat saya, dulu saya tidak pernah mengeluarkan biaya begitu besar untuk mengikuti Ujian Nasional. Lagipula, polemik Ujian Nasional kan sudah sampai tingkat kasasi. Kok masih terus dilangsungkan ya? Sekolah ketiga adik asuh saya tersebut juga termasuk salah satu sekolah swasta di Bandung yang mendapatkan subsidi Sekolah Gratis sejak tahun 2009 lalu. Lantas, kenapa masih dikenai biaya ujian segala?

Berbekal uang 900.000 dan pikiran macam-macam di kepala, saya mendatangi sekolah tersebut tanggal 1 maret lalu. Saya bertemu dengan Ibu wakil sekolah bidang kesiswaan. Beliau ini sebenarnya anak dari kepala sekolah, yang dipercaya untuk mengurus sekolah tersebut sejak awal tahun 2009. Sang kepala sekolah memiliki beberapa sekolah di kota dan kabupaten Bandung, ceritanya. Well, semacam bisnis keluarga mungkin. Karena anak dan kerabatnya diserahi peran penting pada beberapa sekolahnya. Setahu saya sekolah-sekolahnya tergolong kecil dan dibangun di daerah kecil, seperti Majalaya sampai Garut. Tapi dengan banyaknya subsidi pendidikan untuk sekolah-sekolah di masa kini mungkin ini jadi bisnis yang bagus =D

Nah, Ibu muda cantik yang ramah itu menerima saya dengan sangat baik. Saya bayar biaya ujian ketiga adik asuh saya tanpa banyak bicara. Tiba-tiba beliau nyeletuk bilang, “Seharusnya Ujian
Nasional tuh ga usah ada, itu kan cuma proyekan dinas saja.” Senyum saya kulum, mengangguk tanda setuju. Wah, si ibu idealis juga niy. Kelihatannya beliau masih berusia 30-an awal, karena
kalo murni idealis kan biasanya mahasiswa yang berusia 20-an.”Ujian Nasional itu cuma kedok.” Si ibu cantik lantas menjelaskan alasan kenapa biaya ujian bisa semahal 300 ribu rupiah.

Dalam UN, para pengawas ujian adalah guru-guru dari luar sekolah dan ada pengawas dari dinas. “Saya bulan lalu habis rapat koordinasi SMA negeri dan swasta se-Bandung Utara. Dalam Materi Rapat disebutkan bahwa sekolah harus memberi uang transpor dan makan bagi para pengawas UN.” Lalu, ia menunjukkan lembar Materi Rapat UN yang ia hadiri di Dinas Pendidikan Kota. Di lembaran itu tertulis kurang lebihnya seperti ini:

1. Uang transpor pengawas ruang diberikan oleh sekolah tempat pengawas bertugas sebesar Rp 15.000 per orang per hari.
(“ada 3 orang pengawas dalam 1 ruang dan ada 5 hari ujian untuk 6 mata pelajaran yang diujikan,”terang si ibu)

2. Uang makan pengawas ruang diberikan oleh sekolah tempat pengawas bertugas sebesar Rp 10.000 per orang per hari.

3. Pengawas soal diberikan uang transpor oleh sekolah tempat pengawas bertugas sebesar Rp 100.000 per orang per hari.
(pengawas soal ini mungkin maksudnya pengawas/pembawa soal dari Dinas, ada 1-2 orang dan Rp 100.000 dalam rapat diganti oleh Pimpinan Rapat menjadi Rp 150.000 -pimpinan rapat adalah ketua rayon, kalo ga salah-)

4. Tiap sekolah yang menyelenggarakan Ujian Nasional wajib menyerahkan Iuran gotong royong yang dikenakan pada tiap siswa sebesar Rp 7.500.
(Si ibu cantik juga tak tahu apa gunanya iuran gotong royong ini)

“Mbak lihat sendiri kan, kalo kami hanya memungut uang ujian berdasarkan aturan itu saja. Sisanya untuk operasional UAS dan ujian praktek. Kalo di sekolah lain (uang ujian-red) bisa sampai 500 ribu bahkan 2 juta per siswanya,” terang ibu cantik.Apa?

“Lebih kasihan lagi kalo anaknya ga lulus, mbak. Tahun lalu saja tiap siswa dikenakan biaya 1,5 juta per mata pelajaran yang tidak lulus,” lanjutnya. Waduh, kalo ga lulus 6 pelajaran berarti habis duit 9 juta dong..aih, aih. Satu setengah juta itu aturan dari sekolahnya ato bagaimana, tanya saya. “Aturan dari atas, alasannya soalnya beda dan biaya operasional para pengawasnya kan beda lagi,”jawab si ibu dengan nada makin tinggi.

“Padahal kalo banyak siswa yang tidak lulus, kepala dinas prov-nya juga ditegur sama menteri. Lalu, kepala dinasnya akan meminta bagian pengumpul soal untuk membenarkan semua jawabannya anak-anak. Berarti sama aja kan? Apa artinya ujian nasional kalo begitu?” kata ibu makin berapi-api. Berarti uang 1,5 juta itu bonus ekstra untuk para pegawai dinas sekaligus biaya untuk menghapus jawaban anak-anak dan menggantinya sesuai kunci jawaban, pikir saya.

“Kami, guru-guru,merasa kasihan sama anak-anak. Masa capek-capek mereka sekolah tiga tahun, berhasil tidaknya cuma ditentukan oleh 5 hari ujian. Ga adil kan? Standarnya juga dinaikkan tahun ini, jadi 5,50 untuk 6 pelajaran. Terlalu berat untuk sekolah kecil seperti di sini.” Betul, jawab saya, dengan standar ujian yang sama maka tingkat kelulusan di daerah kota dan desa pasti berbeda. Kualitas pendidikan di negara ini belum terstandarisasi dengan baik sampai saat ini. Mulai dari Sabang sampai Merauke, kualitasnya pasti tak sama. Agh, gitu kok berani-beraninya bikin Sekolah Standar Internasional? imbuh saya dalam hati.

“Kalaupun memang tetap ada UN, mungkin ada baiknya bila anak-anak yang tidak lulus tetap mendapat ijazah. jadi mereka tetap bisa melamar kerja. itu menurut saya lho ya,” ujar si ibu lagi. Aturan sekarang, bagi siswa-siswa yang lulus akan mendapatkan ijazah dan surat tanda lulus. Jika tidak lulus, mereka tidak akan mendapatkan keduanya. Jadi harapan siswa untuk melanjutkan studi atau bekerja tidak terputus begitu saja.

Lalu, kenapa Ujian Nasional tetap diadakan juga Bu? BUkannya kasus UN sudah sampai tingkat kasasi? tanya saya. “Nah, itulah. Bambang Sudibyo, menteri pendidikan tahun lalu sudah keburu bikin Permen. Peraturan Menteri bahwa UN tetap akan dilaksanakan. Menteri Pendidikan yang sekarang ini, M.Nuh, tidak bisa mengubah Permen ini. Bisa sebenarnya, tapi jarang sekali ada Menteri yang mengubah

Permen. Jadilah, Permen manis buat kita semua,”jawab beliau diakhiri senyum simpul yang membuatnya makin cantik. Kalo menurut laki saya, Permen tersebut tidak diubah karena banyaknya protes dari pejabat Dinas Pendidikan. Beban biaya untuk membatalkan UN dianggap terlalu besar karena proses pengadaan UN sudah dimulai sejak tahun lalu! Terlalu besar yang akan hilang dari kantong mereka mungkin, pikir saya.

“Seluruh jajaran Dinas Kota maupun Prov pasti tahu soal ini. UN itu proyek besar. Orang-orang atas pasti dapat bagiannya,” asumsi si ibu cantik sambil tersenyum sinis. Mengingat proyek UN adalah “proyek bersama pejabat pendidikan” maka kepala-kepala sekolah mungkin tidak dapat berontak atau protes. Masalahnya, cap kelulusan anak-anak didik mereka yang pegang. Legalitas sekolah juga ada di tangan mereka. Kalau si ibu cantik ini bersuara sekeras ini pada pejabat di atasnya, bisa-bisa sekolahnya dibubarkan tanpa alasan jelas. Lantas, bagaimana tanggung jawabnya pada orang tua siswa?

Mungkin itulah sebabnya, si ibu cantik ini bertutur begitu semangatnya pada saya. Saya mengaku sebagai mahasiswa. Mungkin beliau ingin melepaskan uneg-unegnya pada saya dan sedikit berharap suara saya bisa berbunyi lebih keras darinya. Bagaimanapun, beliau tahu semua kecurangan dan kebusukan para mafia pendidikan itu tapi tak mampu berbuat banyak, selain bertahan dan pintar-pintar menahan diri. Karena beliau masih berada dalam sistem pendidikan itu sendiri.

Gambaran tentang UN ini sudah ada sejak beberapa tahun lalu. Tapi saya masih kaget melihat betapa riilnya kecurangan-kecurangan tersebut terjadi. Lebih kaget lagi, para guru sudah banyak yang tahu soal ini, tapi tidak bisa berbuat banyak. Tapi setidaknya mereka tetap berusaha bertahan dan mendidik murid-muridnya. Lebih mulia jasanya daripada pejabat dinas ataupun anggota dewan terhormat yang masih saja ribut soal duit hilang Century.

—-

Bukan barang baru. Justru barang yang terus diulang-ulang untuk mengingatkan. Bukan juga sebuah klise untuk menolak UN, itu bukan juga jawaban yang diharapkan rasa kesal ini.

Tetapi persoalannya ada pada pengelolaan sistem pendidikan itu sendiri. Entah dari dulu (karena saya masih muda), entah sekarang. Jikalau nanti pun UN menghilang dari tanah republik ini, apakah sistem pendidikan yang rusak begini masih terus bertahan?

Saya cuma berpikir, apalah artinya Sekolah Berstandar Internasional kalau justru memiskinkan yang semakin miskin? Apalah artinya universitas ternama kalau justru mencetak koruptor baru setiap tahun kelulusannya? Apa pula artinya Institut terkemuka jika hanya melahirkan politisi yang pintar berkelit lidah dan egois dengan urusan politik dalam selangkangannya?

Apa pula artinya saya bicara panjang lebar soal ini, sementara kita sendiri sibuk berbasa-basi soal berhak tidaknya seseorang jadi presiden atau pe-dangdut? Sementara berurusan dengan seorang tamu pun, kita sendiri harus sibuk bebersih rumah yang terus menumpahkan darah.

Saya tahu tulisan ini kepanjangan, padahal cuma pengantar sebuah copas. Tapi paling tidak gara-gara cerita ini saya jadi menulis lagi setelah sekian lama. Jadi mengingatkan diri sendiri untuk belajar ber”Bahasa” dan sekaligus menulis “Sejarah” lagi. Kalau Matematika, saya melakukanya hampir setiap bulan dari billing pribadi saya yang angkanya terus naik.

Gambar diambil dari Cover majalah sebuah Unit Pers Mahasiswa. Di Edisi tersebut saya menulis laporan utamanya.

Posted in Opini, politikana | 8 Replies

Air Bandung Yang Bermartabat

Posted on by Leksa
15

Ini keluhan yang sangat sangat sangat mengganggu.

Kebetulan saya baru kembali dari Bandung. Menumpang 4 hari di rumah teman di sekitar daerah Kanayakan, Dago. Dan saya harus katakan kesal luar biasa.

Saya baru saja tiba dari Bandara Sukarho Hatta waktu itu, dan langsung bergerak menuju Bandung. Berharap sampai di Bandung bisa merasakan segarnya air Bandung menutupi penat nya badan karena udara kotor Jakarta. Tapi apa dinyana. Air di tempat saya tinggal tersebut mati.

Menunggulah saya dan teman-teman di rumah itu, berharap ini cuma giliran pemadaman saja. Seperti biasanya. Tapi, ternyata lebih parah. Sampai kemarin saya kembali ke Yogyakarta, air belum juga mengalir. Info terbaru malah sampai hari ini (berarti hari ke-5) belum juga mengalir. Keluhan serupa datang dari berbagai penjuru kawasan Dago, yang saya baca di twitter, juga dengar dari cerita teman-teman dan tetangga.

Ini bukan cerita aneh buat kota Bandung memang. Tapi sampai 5 hari tanpa informasi jelas atau lewat permintaan maaf dari pihak PDAM Bandung -media massa/atau dimanapun yang bisa dijangkau publik infonya, bagi saya ini berarti sebuah kekeliruan manajemen kota yang serius!

Masyarakat diminta untuk terus membayar. Tapi pelayanan pun semakin menyesakkan dengan bertambahnya hari-hari panas di Bandung. Setahu saya, PDAM bandung sendiri pernah merilis bahwa mereka menyadari semakin kekurangan debit air untuk kebutuhan publik. Tapi di sisi lain, pihak manajemen mengakui juga kalau mereka mengalami kerugian karena berbagai sebab secara berkala, dengan nilai rupiah hingga puluhan miliar pertahunnya (34 miliar terakhir saya baca dari Pikiran Rakyat).

Jika sudah begini Persoalan air kota Bandung bukan lagi urusan PDAM semata. Pemerintah kota, atau bahkan Pemda Jabar harus proaktif turun tangan. Institusi pendidikan teknologi terhebat di Indonesia yang berlokasi di kota yang sama pun mengakui bahwa muka air tanah kota Bandung semakin rendah. Ironisnya, kontribusi institut ini buat permasalahan tata kota mereka sendiri belum bisa diselesaikan secara nyata. Padahal mereka sendiri baru membanggakan diri karena kenaikan peringkat institusi pendidikan tersebut naik menjadi 80 besar di dunia. Terakhir yang saya lihat, sebuah mall disiapkan lagi didepan gedung rektoratnya. Sungguh ironis.

Sebabnya kekuarangan air ini bisa ditebak. Daya serap air tanah semakin rendah, aliran air semakin sedikit dengan kondisi iklim yang sulit ditebak juga karena pengaruh iklim. Sementara disana, bangunan-bangunan gedung yang menggila terus dibangun karena tuntutan sebagai “kota satelitnya orang jakarta”. Dan membludaknya kebutuhan air dari mobilisasi penduduk, plus kebutuhan air untuk gedung-gedung besar ini jelas menyedot air Bandung yang semakin sedikit. Jika sudah begini, akan dibawa kemana tata kota Bandung yang akunya Bermartabat itu?

Jangan-jangan memang martabat kota Bandung harus dipertanyakan kembali. Dulu sempat dipertanyakan karena sampah. Apakah sekarang harus bertaruh nama kembali lantaran permasalahan air?


Sumber :

Research singkat dari google persoalan air dan tata kota Bandung.

coretankelambu.wordpress.com/author/yudhaspiza/page/14/

Posted in politikana | 15 Replies

Berteman (lagi) Dengan Bencana

Posted on by Leksa
4

Ketika dulu saya kuliah Geologi Dasar “101″, dosen saya yang kecil dan lucu itu selalu mengijinkan open book untuk ujian. Dan nilai kuliah harian, hanya dilihat dari absensi dan presentasi. Namanya mahasiswa, kadang malas mendera, absen pun bisa dititipkan. Presentasi? Serahkan saja pada yang rajin dan jago bicara. Hasilnya, 90% kelas bisa lulus dengan nilai A. Padahal, jumlah mahasiswa yang mengambil mata kuliah ini bisa mencapai 300 orang pertahunnya. Karena Geologi Dasar adalah mata kuliah wajib bagi 3-5 jurusan ilmu kebumian.

Itu dulu. Ketika saya dan teman-teman kuliah hanya melihat ilmu ini adalah hanya sekedar bagian dari prestasi mengejar kelulusan.

Tahun 2004, sebuah bencana paling besar di abad ilmu modern terjadi. Gempa yang disusul tsunami membawa korban jiwa dan kerusakan luar biasa hingga 3 benua. Jumlah korban jiwa mengalahkan jumlah korban bom atom Jepang yang mengakhiri perang dunia II. Dan kemudian semua orang seperti diajak berpikir, ada apa dengan bumi ini? Apakah bumi “mulai” marah dengan polah manusia?

Bumi tidak pernah marah. Sedari dulu memang demikianlah bumi kita beraktifitas. Coba saja perhatikan gambar berikut, bagaimana hanya dalam satu minggu bisa tercatat beberapa gempa dimuka bumi ini.

Warna Merah : Gempa sejam terakhir
Warna Biru : Gempa hari ini
Warna Kuning :